Jumat, 21 Desember 2012

SALING MENERIMA DAN MENDUKUNG

SALING MENERIMA DAN MENDUKUNG

Komunikasi antarpribadi bersifat dialogis, dalam arti arus balik antara komunikator dengan komunikan terjadi secara langsung, sehingga pada saat itu juga komunikator dapat mengetahui secara langsung tabggapan dari komunikan, dan secara pasti akan mengetahui apakah komunikasinya positif, negatif dan berhasil atau tidak. Apabila tidak berhasil, maka komunikator dapat memberi kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas – luasnya.
2.1 Perilaku Komunikasi Antarpribadi
Secara psikologis perilaku komunikasi antarpribadi siswa meliputi keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan. Ciri – ciri efektifitas komunikasi antarpribadi menurut Kumar (Wiryanto, 2005: 36) dan De vito (Sugiyo, 2005: 4) :
1.      Keterbukaan (Openess), yaitu kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi.
2.      Empati (Empathy), yaitu merasakan apa yang dirasakan orang lain.
3.      Dukungan (Supportivenes), yaitu situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif.
4.      Rasa positif (Positivenes), seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.
5.      Kesetaraan atau kesamaan (Equality), yaitu pengakuan secara diam – diam bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
2.1.1 Keterbukaan (Openess)
Keterbukaan atau sikap terbuka sangat berpengaruh dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Keterbukaan adalah pengungkapan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang dihadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan untuk memberikan tanggapan kita di masa kini tersebut.
“Johnson Supratiknya, (1995: 14) mengartikan keterbukaan diri yaitu membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukan, atau perasaan kita terhadap kejadian – kejadian yang baru saja kita saksikan. Secara psikologis, apabila individu mau membuka diri kepada orang lain, maka orang lain yang diajak bicara akan merasa aman dalam melakukan komunikasi antarpribadi yang akhirnya orang lain tersebut akan turut membuka diri”.
Brooks dan Emmert (Rahmat, 2005: 136) mengemukakan bahwa karakteristik orang yang terbuka adalah sebagai berikut :
a.       Menilai pesan secara objektuf, dengan menggunakan data dan logika.
b.      Membedakan dengan mudah, melihat nuansa, dsb.
c.       Mencari informasi dari berbagai sumber.
d.      Mencari pengertian pesan yabg tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaannya.
2.1.2 Empati (Emphaty)
Menurut Sugiyo (2005: 5) empati dapat diartikan sebagai mengahayati perasaan orang lain dan turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sementara Surya (Sugiyo, 2005: 5) mendefinisikan bahwa empati adalah sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang lain secara paripurna baik yang nampak maupun yang terkandung, khususnya dalam aspek perasaan, pikiran dan keinginan. Menurut Winkel (1991: 175) bahwa empati yaitu, konselor mampu mendalami pikiran dan menghayati perasaan siswa, seolah – olah konselor pada saat ini menjadi siswa, tanpa terbawa – bawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri sendiri.
Sedangkan, Jumarin (2002: 97) menyatakan bahwa empati tidak saja berkaitan dengan aspek kognitif, tetapi juga mengandung aspek afektif, dan ditunjukkan dalam gerakan, cara berkomunikasi (mengandung dimensi kognitif, afektif, perseptual, somatic/kinesthetic, apperceptual dan communicative).
2.1.3 Dukungan (Supportiveness)
Menurut Sugiyo (2005: 6) dalam komunikasi antarpribadi perlu adanya suasana yang mendukung atau memotivasi, lebih – lebih dari komunikator. Rahmat (2005: 133) mengatakan bahwa “sikap supportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif”. Jack R.Gibb (Rahmat, 2005: 134) menyebutkan beberapa perilaku yang menimbulkan perilaku suportif, yaitu :
1.      Deskripsi, yaitu menyampaikan perasaan dan persepsi kepada orang lain tanpa menilai; tidak menguji atau mengecam, mengevaluasi pada gagasan, bukan pada pribadi orang lain, orang tersebut “merasa” bahwa kita menghargai diri mereka.
2.      Orientasi masalah, yaitu mengajak untuk bekerjasama mencari pemecahan masalah, tidak mendikte orang lain, tetapi secara bersama – sama menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya.
3.      Spontanitas, yaitu sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam.
4.      Provisionalisme, yaitu kesediaan untuk meninjau kembali pendapat diri sendiri, mengakui bahwa manusia tidak luput dari kesalahan sehingga wajar kalau pendapat dan keyakinan diri sendiri dapat berubah.
2.1.4 Rasa positif (Positivenes)
Rasa positif merupakan kecenderungan seseorang untuk mampu bertindak berdasarkan penialian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan, menerima diri sebagai orang yang penting dan berniali bagi orang lain, memiliki keyakinan atas kemampuannya untuk mengatasi persoalan, peka terhadap kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima. Sugiyo (2005: 6) mengartikan bahwa rasa positif adalah adanya kecenderungan bertindak pada diri komunikator untuk memberikan penilaian yang positif pada diri komunikan. Rahmat (2005: 105) menyatakan bahwa sukses komunikasi antarpribadi banyak tergantung pada kualitas pandangandan perasaan diri; positif atau negatif.
2.1.5 Kesetaraan (Equality)
Kesetaraan merupakan perasaan sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalamn kemampuan tertentu, latar belakang keluarga atau sikap orang lain terhadapnya. Rahmat (2005: 135) mengemukakan bahwa persamaan atau kesetaraann adalah sikap memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokratis, tidak menunjukkan diri sendiri lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain karena status, kekuasaan, kemampuan intelektual kekayaan atau kecantikan.

2.2 Hambatan dalam Upaya untuk Saling Menerima dan Mendukung
Hambatan Komunikasi
1)      Faktor yang bersifat teknias yaitu kurangnya penguasaan teknik berkomunikasi. Teknik komunikasi mencakup unsur – unsur yang ada dalam komunikator dalam mengungkapkan pesan, menyandi lambang – lambang, kejelian dalam memilih saluran, dan metode penyampaian pesan.
2)      Faktor yang sifatnya perilaku. Bentuk dari perilaku yang dimaksud adalah perilaku komunikasi yang bersifat :
a.       Pandangan bersifat apriori
b.      Prasangka yang didasarkan atas emosi
c.       Suasana yang otoriter
d.      Ketidakmampuan untuk berubah walaupun salah
e.       Sifat yang egosentris
3)      Faktor yang bersifat situasional kondisi dan situasi yang menghambat komunikasi, misalnya : situasi ekonomi, sosial, politik, dan kemanan.
2.3 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Komunikasi
Realita komunikasi antarpribadi dianalogikan seperti fenomena gunung es (the communication iceberg). Analogi ini menjelaskan bahwaada berbagai hal yang mempengaruhi atau yang memberi kontribusi pada bagaimana bentuk setiap tampilan komunikasi. Gunung es yang tampak, dianalogikan sebagai bentuk komunikasi yang teramati atau terlihat (visible/observable aspect) yaitu :
1.      Interactant, yaitu orang yang terlibat dalam interaksi komunikasi seperti pembicara, penulis, pendengar, pembaca dengan berbagai situasi yang berbeda.
2.      Symbol, terdiri dari symbols (huruf, angka, kata – kata, tindakan) dan symbolic language (bahasa Indonesia, bahasa Inggris).
3.      Media, saluran yang digunakan daslam setiap situasi komunikasi.
Tampilan komunikasi yang teramati/tampak diengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak terlihat, tapi terasa pengaruhnya, yaitu :
1.      Meaning (makna). Ketika simbol ada, maka makna itu ada dan bagaimana cara menanggapinya. Intonasi suara, mimik muka, kata – kata, gambar dsb. Merupakan simbol yang mewakili suatu makna.
2.      Learning. Interpretasi makna terhadap simbol muncul berdasarkan pola – pola komunikasi yang diasosiasikan pengalaman, interpretasi muncul dari belajar yang diperoleh dari pengalaman. Pengalaman merupakan rangkaian proses memahami pesan berdasarkan yang kita pelajari. Jadi makna yang kita berikan merupakan hasil belajar. Membaca, menulis, menghitung adalah proses belajar dari lingkungan formal. Jadi, kemampuan kita berkomunikasi merupakan hasil learning (belajar) dari lingkungan.
3.      Subjectivity. Pengalaman setiap individu tidak akan pernah benar – benar sama, sehingga individu dalam meng-encode (menyusun atau merancang) dan men-decode (menerima dan mengartikan) pesan tidak ada yang benar – benar sama. Interpretasi dari dua orang yang berbeda akan berbeda terhadap objek yang sama.
4.      Negotiation. Komunikasi merupakan pertukaran symbol. Pihak – pihak yang berkomunikasi masing – masing mempunyai tujuan untuk mempengaruhi orang lain. Dalam upaya itu terjadi negosiasi dalam pemilihan simbol dan makna sehingga tercapai saling pengertian.
5.      Culture.
1)      Setiap individu adalah hasil belajar dari dan dengan orang lain.
2)      Individu adalah partisipan dari kelompok, organisasi dan anggota masyarakat.
3)      Melalui partisipasi berbagi simbol dengan orang lain, kelompok, organisasi dan masyarakat.
4)      Simbol dan makna adalah bagian dari lingkungan budaya yang kita terima dan kita adaptasi.
5)      Melalui komunikasi budaya diciptakan, dipertahankan dan dirubah.
6)      Budaya menciptakan cara pandang (point of view).
6.      Interacting levels and context. Komunikais antar manusia berlangsung dalam bermacam konteks dan tingkatan. Lingkup komunikasi setiap individu sangat beragam mulai dari komunikasi antarpribadi, kelompok, organisasi, dan masa.
7.      Self reference. Perilaku dan simbol – simbol yang digunakan individu mencerminkan pengalaman yang dimilikinya, artinya sesuatu yang kita katakan dan lakukan dan cara kita menginterpretasikan kata dan tindakan orang adalah refleksi makna, pengalaman, kebutuhan dan harapan – harapan kita.
8.      Self reflexivity. Kesadaran diri (self-cosciousnes) merupakan keadaan dimana seseorang memandang dirinya sendiri (cermin diri) sebagai bagian dari lingkungan. Inti dari proses komunikasi adalah bagaimana pihak – pihak memandang dirinya sebagai bagian dari lingkungannya dan itu berpengaruh pada komunikasi.
9.      Inevitability. Kita tidak mungkin tidak berkomunikasi. Walaupun kita tidak melakukan apapun tetapi diam kita akan tercermin dari nonverbal yang terlihat, dan itu mengungkap suatu makna komunikasi. Berbagai aspek yang dibahas di atas menegaskan bahwa suatu proses komunikasi secara fisik terlihat sederhana, padahal jika kita melihat pola komunikasi yang terjadi itu menjelaskan kepada kita sesuatu yang sangat kompleks. Jadi dapat disimpulkan disini bahwa komunikasi antarpribadi bukanlah yang sederhana.
























DAFTAR PUSTAKA
Brent D. Ruben. (2004) Communication and Human Behaviour. New Jersey: Prentice Hall.
Liliweri, Alo. (2004). “Dasar – dasar Komunikasi Antar Budaya”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
John, Fiske. (1996) Introduction to Communication Studies, Sage Publications
Sasa Djuarsa S.(2003), Teori Komunikasi, Jakarta: Universitas Terbuka.
Stephen W. Little John. (1996). Theories of Human Communication, New Jersey: Wadsworth Publication
Sugiyo. (2005). “Komunikasi Antarpribadi”. Semarang: UNNES Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar