welcome

selamat datang selamat membaca dan semoga bermanfaat

Selasa, 01 Januari 2013

PENDIDIKAN WALDROF



Nama                           : Meli Novikasari
NIM                            : F54011035
Mata Kuliah                : Teori Belajar dan Pembelajaran
Dosen Pembimbing     : Dr. Fadilah

PENDIDIKAN WALDROF
            Waldrof berasal dari Eropa dan telah menyebar ke seluruh dunia. Banyak yang tertarik dengan pendekatan ini karena mereka melihatnya sebagai sebuah alternatif untuk pendidikan tradisional dan sebagai inspirasi untuk memperbaiki pendidikan.
Model pembelajaran Waldrof bertujuan untuk meningkatkan lingkungan pembelajaran yang sehat, tidak tergesa-gesa, sesuai dengan perkembangan bagi anak – anak.
Pendidikan anak usia dini (ECE) Waldrof telah diterapkan pada berbagai tempat pelayanan termasuk rumah dan pengasuhan anak pusat, kelompok orang tua dan anak, program dukungan orang tua, dan program-program taman kanak-kanak dan berbagai usia bagi anak-anak berusia 3 hingga 7 tahun.
1.      RUDOLF STEINER DAN ANTROPOLOGI
Semua tinjauan luas tentang keyakinan filosofis Steiner harus dimulai dengan antroposofi (dari bahasa Yunani: anthopo = manusia + Sophia = kebijaksanaan). Secara sederhana antroposofi adalah eksplorasi diri manusia yang digabungkan dengan hal spiritual. Tujuan antrosofi adalah untuk memunculkan kebenaran atau pengetahuan baru yang tidak disatukan dengan prinsip atau ajaran agama tertentu yang akan membuatnya menjadi bersifat kolor. Hal yang utama adalah pencarian untuk pencarian untuk mendengar kebenaran tentang hal-hal spiritual.
Antrosofi adalah sebuah gerakan spiritual sains yang berakar pada agama Kristen . dimulai oleh Steiner, paham ini tumbuh dan dikenal luas dan mempunyai pengikut diseluruh dunia. Dua komponen penting antroposofi adalah oneness with the world (kesatuan dengan dunia) dan search for self (pencairan diri).
Komponen penting kedua adalah pencarian diri. Steiner menekankan pentingnya setiap individu mengembangkan kemampuannya dalam berbagai bidang, untuk meraih “keseluruhan”.
A.    Teori Steiner Tentang Perkembangan Anak
Senada dengan teori antrosofofinya, Steiner menciptakan teorinya sendiri tentang penrkembangan anak. Ia mengajukan siklus selama 7 tahun yang menggabungkan perkembangan fisik dan spiritual. Pada 7 tahun pertama kehidupan anak-anak terfokus pada raga fisik mereka.
Secara serentak, perkembangan spiritual juga terjadi: konsep Steiner tentang “kemauan”, yang juga dipelihara melalui permainan inisiatif. Yang penting dalam periode ini adalah eksplorasi fantasi dan khayalan. Pada tahap ini, Steiner mengajarkan bahwa pengajaran akademik formal tidak sesuai.
Siklus 7 tahun berikutnya meliputi usia 7 hingga 14 tahun dan ditandai oleh pertumbuhan gigi permanen anak. Pada tahap perkembangan ini anak lebih menyadari dunia sekitarnya dan oleh karenanya siap memulai pengajaran akademik. Konsep spiritual “perasaan” disadari pada masa ini, dan karenanya anak merasa tergoda oleh rangsangan gambar dan citra yang membangkitkan emosi. Hubungan pribadi juga penting dalam tahap ini.
Siklus 7 tahun berkisar dari usia 14 hingga 21 tahun dan diawali dengan permulaan masa puber. Kemudian remaja siap menggabungkan kecerdasan mereka dengan pemikiran dan aplikasi yang lebih abstrak, dari sinilah perkembangan spiritual “pemikiran”. Perasaan mandiri berakar pada tahap ini dan mendorong siswa untuk mencari eksplorasi dan hubungan yang relevan secara pribadi.
Steiner menguraikan siklus 7 tahun dan karekteristik penandanya diseluruh masa kehidupan hingga usia 85 tahun.
Hal yang sangat terkait dengan teori perkembangan Steiner adalah keyakinannya tentang pendidikan. Steiner mengamati bahwa persekolahan harus menitikberatkan pada perkembangan raga, pikiran, dan jiwa anak seluruhnya. Fokusnya harus pada mendidik “keseluruhan” anak karena mengembangkan kemampuan anak lebih penting dari pada mengajrkan mata pelajaran.

B.     Konteks Pendidikan Waldorf
·         Taman Kanak-kanak Waldorf 
Melayani anak usia 3 hingga 6 tahun. Kurikulum sekolah ini berisi permainan imajinasi, dongeng, fable, cerita rakyat, kegiatan seni tiruan, pekerjaan “sungguhan” seperti merajut dan memanggang roti, alat music, tari, drama, dan kesadaran akan alam, siklus dan cuaca.
Kurikulum ini didasarkan pada gagasan Steiner tentang anak pada tahap ini. Karena Steiner merasa bahwa anak-anak berusaha mengembangkan tubuh fisik dan kemauan mereka, semua kegiatan tidak bersifat akademik, tetapi terapan.
Di taman kanak-kanak Waldorf anak-anak diharapkan pertama-tama dan terutama adalah menjadi anak-anak. Waldrof membedakan dengan kenyataan saat ini di mana anak-anak sering dibawa dengan tergesa-gesa melewati masa kanak-kanak merekan dengan tujuan membantu mereka menjadi yang terbaik dan terpandai, tetapi sayangnya karena itulah anak-anak kehilangan kesempatan memiliki masa kanak-kanak yang merupakan hak mereka.
·         Sekolah Dasar Waldrof
Pada usia 7 tahun anak memasuki tahap perkembangan dan persekolahan selanjutnya yang berhubungan dengan kelas dua hingga kelas delapan. Bidang akademik utama yang dicakup pada titil ini umumnya adalah membaca, menulis, keterampilan bahasa, matematika, geografi, sejarah dan sains. Tantangan guru adalah menampilkan semua materi ini dengan cara sedemikian rupa bisa menggali dan menguasai isi pelajaran tersebut.
·         Pelatihan Guru Waldrof
Karena filosofi Waldrof disusun dengan baik dan berisi begitu banyak komponen yang saling terkait, para guru Waldrof harus terlatih dalam bidang filosofi dan teori dibalik pekerjaan mereka, serta dalam cara-cara yang sesuai untuk menggabungkan semua teladan ini di dalam kelas. Pelatihan guru dalam pendidikan Waldrof berfokus pada perkuliahan dan tulisan Rudolf Steiner.



2.      KARAKTERISTIK PROGRAM
A.    Menciptakan Masyarakat Pemelajar yang Peduli
Pendekatan PAUD Waldrof menggabungkan elemen-elemen mesyarakat tertentu kedalam rancangannya. Pentingnya lingkungan fisik, pengelompokan usia, kegiatan yang terencana, jadwal, dan hubungan sosial seluruhnya dibahas.
·         Kepekaan Anak-anak pada Lingkungan
Steiner memulai dengan lingkungan, yang mencakup tata letak dan rancangan ruang kelas yang digunakan oleh anak. Lingkungan adalah tempat yang terpenting untuk memulai. Lingkungan anak usia dini Waldrof memelihara rasa anak-anak tentang keindahan dan susunan. Steiner merasa bahwa anak-anak sangat peka terhadap lingkungan mereka, menyerap informasi melalui kelima indra dan merasakannya melalui seluruh tubuh mereka.
·         Pentingnya Imitasi dan Permainan
Guru Waldrof yakin bahwa penting untuk memberikan anak-anak sesuatu yang berharga untuk ditiru. Melalui peniruan sendiri ini, anak-anak belajar tidak hanya untuk melakukan tugas mereka untuk dilingkungan kelas tetapi juga untuk mengandalkan orang lain.
Permainan adalah metode penting lainnya dimana di dalamnya anak-anak mengembangkan rasa kemasyarakatan. Permainan memberikan kesempatan “aman” untuk melakukan interaksi sosial. Anak-anak bisa mencoba peran yang berbeda, menyelesaikan konflik, dan melakukan berbagai metode komunikasi, semuanya dengan bermain pura-pura. Dari segi perkembangan, permainan adalah kesempatan bagi anak untuk melatih keterampilan sosial mereka dan mempelajari bagaimana berfungsi dalam sebuah kelompok.
·         Manfaat Pengelompokan Campur Usia
Faktor lsin yang berperan dalam masyarakat pembelajar Waldrof  yang mengasihi adalah pengelompokan beragam usia anak-anak. Rancangan ini juga meningkatkan atmosfer keluarga dalam arti bahwa kelas seperti imitasi saudara dengan stratifikasi usia, yang lebih alami dari pada kelas yang berisi anak dengan usia sama. Perbedaan dari segi usia ini menawarkan contoh teladan bagi anak-anak yang lebih muda, sedangkan anak-anak yang lebih tua menghormati dan belajar dari model mereka.
·         Menerapkan Ritme dan Rutinitas
Waldrof berperan untuk membantu meningkatkan rasa kemasyarakatan. Guru berusaha sendiri menetapkan rutinitas yang berulang setiap hari, setiap minggu, setiap musim, dan setiap tahun.
B.     Mengajar Untuk Mendorong Perkembangan dan Pembelajaran
Ada tiga perasaan menyangkut pendidikan anak usia dini yang disukung oleh guru-guru Waldrof : penghormatan, antusiasme, dan perlindungan.
·         Penghormatan, antusiasme, dan perlindungan
Penghormatan dapat diartikan sebagai sikap seorang guru terhadap anak.  Anak sangat mudah dipengaruhi, menyerap rangsangan dari limgkungan melalui indranya dan merasakannya dengan seluruh tubuhnya, dan penting bagi guru untuk memberikan rangsangan yang berguna.
Menyadari bahwa seni mengajar memberikan banyak tantangan. Steiner mendesak agar orang-orang yang mengajar harus menerima peran mereka dengan antusias. Tugas ketiga seorang guru adalah memberikan perlindungan bagi semua anak yang mereka asuh secara fisik, emosional, sosial, dan psikologi. Guru memberikan lingkungan yang bebas tekanan dengan irama lambat menyenangkan yang memungkinkan anak benar membangun fondasi yang akan mendukung pembelajaran mereka si masa depan. Anak-anak tidak merasakan tekanan standar, pengujian, atau keharusan untuk membaca, tapi menikmati pengalaman baca tulis yang kaya, yang mengarahkan imajinasi mereka.
·         Menyediakan Lingkungan yang Respontif
Pengajaran yang memberi ruang perkembangan dan pembelajaran mengharuskan guru menciptakan lingkungan yang menyenagkan dan responsif. Keindahan estetis dan rasa hangat penerimaan yang dibahas sebelumnya mainan dan materi yang disediakan guru untuk anak. Materi yang mengundang tangan dan pikiran tangan anak-anak untuk menyentuh, mengolah, membuat dan berimajinasi. Mereka belajar bahwa ada kemungkinan yang tak terbatas, bukannya belajar bahwa ada satu cara yang benar untuk melakukan sesuatu.


·         Hubungan Anak-anak dengan Pengalaman Pengindraan
Anak adalah “organ indra secara keseluruhan”, yang berarti bahwa anak-anak saling terkait dengan pengalaman pengindraan mereka. Seorang anak “menyatu dengan perasaan, karena itu sangat dipengaruhi oleh apa yang ditunjukan oleh rasa itu, dan perkembangn psikologinya dipengaruhi oleh lingkungan didekatnya”.
Anak juga bisa bereaksi dengan kehilangan  kendali dan mencari pelampiasan dengan cara-cara yang tidak diterima secara sosial. Pendidikan Waldorf dengan lingkungan alaminya yang menyenangkan adalah penangkal sifat mudah bergairah yang sangant mudah dikuasai oleh anak.
·         Bekerjasama dengan Teman Sebaya
Adalah bagian penting lainnya dalam perkembangan dan pembelajaran sehat yang dibantu perkembangannya oleh para guru. Guru memberikan banyak kesempatan bagi anak untuk bermain dan bekerjasama.
·         Belajar dengan Melakukan
Guru Waldorf mendorong anak-anak untuk menemukan sendiri. Saat anak-anak memilih untuk terlibat dalam imitasi atau permainan, mereka akan melakukan dengan sepenuh hati dan memperoleh jauh lebih banyak dari pada bila mereka dipujuk untuk melakukannya.
·         Tanggungjawab dan Regulasi Diri
Salah satu tujuan kurikulum anak usia dini Waldrof adalah membantu anak-anak mengembangkan rasa tanggung jawab dan regulasi diri. Dengan memilih, anak-anak mulai melatih pengendalian mereka sendiri. Bagian penting pendekatan ini adalah mengenali bahwa perkembangan tanggung jawab dan pengaturan diri adalah sebuah proses. Agar ini terjadi, anak perlu waktu, ruang dan kesempatan yang cukup untuk berlatih membuat pilihan dan menggunakan kemandirian dan saling ketergantungan dibawah pengawasan seksama dan bimbingan orang dewasa.
C.    Membuat Kulikulum yang Tepat
Kurikulum anak usia dini Waldrof dibuat untuk mendidik anak secara keseluruhan: “kepala, hati, dan tangan”. Dengan demikian kurikulum tersebut berbicara tentang perkembangan aspek sosial, emosional, spiritual, moral, fisik, dan kecerdasan setiap anak.
·         Memelihara Anak Secara Keseluruhan
Kurikulum ini bisa dijelaskan hanya oleh beberapa kegiatan, tapi kedalaman yang dicapainya memerlukan pembahasan yang panjang.
·         Mendorong Perkembangan Holistik
Perkembangan sosial dipicu dan dilatih melalui permainan imajinatif. Konflik muncul dan anak-anak harus menyelesaikannya dan menemukan jalan keluar. Perkembangan emosional didukung dalam hubungan pribadi dekat yang dikembangkan setiap anak dengan guru, dan memalui persahabatan yang dibangun anak dengan teman sebaya. Anak-anak belajar memperoleh kendali emosi yang lebih besar atas perkembangan saat perkembangan terjadi dalam lingkungan yang aman, terlindungi dan bebas tekanan. Perkembangan spiritual dibantu berkembang melalui peniruan rasa hormat setiap guru pada masa kanak-kanak, alam, materi didalam kelas, dan makanam kecil yang dinikmati. Anak-anak perlu belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka dan mengambil keputusan yang baik. Pendidikan Waldrof dibuat untuk meletakkan semua landasan bagi perkembangan moral ini. Perkembangan fisik dipelihara melalui gerakan. Anak-anak sangat aktif, dan guru mendukung keaktifan ini sepanjang pagi. Sejumlah kegiatan luar kelas mendorong banyak gerakan dan perkembangan otot, sementara proyek seni dalam jumlah besar mendorong keterampilan gerak halus. Perkembangan kecerdasan bukan berasal dari pengajaran langsung, tetapi melalui penemuan dan peniruan yang diatur sendiri oleh anak.
·         Menggabungkan Berbagai Jenis Disiplin Ilmu
Melalui kerikulum Waldrof yang berisi permainan, imitasi, seni dan cerita, anak juga memperoleh pengaaman dalam berbagai jenis disiplin. Banyak sekolah saat ini yang berjuang untuk mengembangkan kurikulum yang terpadu. Guru sering kali menyamakan disiplin ilmu mereka. Sebaliknya, guru Waldrof selalu mengajar matematika, sains, kesusastran, kesenian, dan sebagainya sebagai dari satu kesatuan yang teratur. Landasan bagi kemampuan membaca, menulis dan berhitung, misalnya diletakkan melalui pengalaman setiap hari seperti pertunjukkan boneka dan menata meja untuk saat makan makanan kecil.


·         Mempertahankan Keteguhan Kecerdasn
Komponen penting kurikulum adalah keteguhan kecerdasan, karena anak-anak meniru tindakan orang disekitar mereka, guru harus melakukan tindakan yang pantas ditiru. Guru mencontohkan tugas sehari-hari yang diperlukan dalam merawat sekolah dan rumah, termasuk memperbaiki dan membersihkan, memasak dan mencuci. Semua ini adalah tugas-tugas yang berharga dan bertujuan yang pantas ditiru.
·         Merangkul Perbedaan
Pendidikan Waldrof bisa dipandang sebagai sebuar program multikultur contoh karena dengan mudah mengadaptasi budaya dan warisan anak-anak dan masyarakat yang dilayaninya. Tujuan pendidikan Waldrof adalah menyediakan “pendidikan menuju kebebasan” untuk anak-anak, yang menjadi alasan mengapa tujuannya adalah membantu anak-anak mengembangkan penilaian yang mandiri yang kuat. Kurikulim Waldrof pada dasarnya merangkul perbedaan dan menciptakan kesinambungan yang mengasihi.
3.      MENILAI PEMELAJARAN ANAK-ANAK
Tujuan kurikulum PAUD Waldrof adalah bukan untuk mengajarkan keterampilan akademik dasar dan mengikuti ujian atau membantu siswa memenuhi standar yang ditentukan pemerintah bagi berbagai usia dan tahapan atau kelas. Guru Waldrof sangat menyadari kemajuan perkembangan siswa mereka secara perorangan. Guru menunjukkan kesabaran, memandang pendidikan sebagai proses yang panjang. Guru taman kanak-kanak Waldrof mengumpulkan informasi tentang perkembangan dan pembelajaran setiap siswa, tapi secara bijaksana agar tidak membuat anak tertekan. Guru mungkin memulai dengan sumber daya mereka yang paling berharga – oramg tua. Orang tua digunakan untuk memberi wawasan tentang kehidupan dan pengalaman rumah anak.
Setelah dikumpulkan dari berbagai sumber dan situasi, guru tidak menggunakan data penilaian untuk menilai atau mengukur siswa, tapi hanya untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang anak agar bisa memfasilitasi perkembangan dan pembelajaran dikelas dengan baik. Metode ini membiarkan guru secara kreatif mengunggkapkan beberapa sifat yang ia amati dalam diri siswanya dan mendorong perkembangan aspek karakter mereka yang lain. Jenis penilaian seperti ini berfungsi untuk memberikan informasi pendidikan penting dengan cara yang bermakna sambil mendorong keintiman pribadi antara guru dan siswa.
4.      MEMBANGUN HUBUNGAN DENGAN KELUARGA
Pendidikan Waldorf terjalin dengan sangat kuat dengan keluarga sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Guru memerlukan dukungan orang tua, orang tua memerlukan dukungan dari guru.
5.      WALDORF DAN PENDEKATAN LAINNYA
Pendekatan Waldorf pada pendidikan usia dini tampaknya memiliki daya tarik tertentu yang nyata dan, dapat disangkal, sama baiknya dengan contoh-contoh terkenal lainnya. Waldorf tentu saja memiliki banyak persamaan dengan praktek yang sesuai perkembangan ( DAP ) yang di tetapkan oleh National Association for the Aduction of Young Children (NAEYC).
A.    Waldrof Menjadi Pendekatan dalam Pendidikan Khusus
Rudolf Stainer menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda: pendidikan kreatif, nama ini menunjukan cara berfikir baru mengenai pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus. Sikap terhadap anak-anak ini adalah sikap hormat dengan mengakui bahwa setiap orang, apapun kekurangannya, memiliki sesuatu untuk disumbangkan kepada masyarakat.
Guru bekerja dengan anak-anak “yang membutuhkan pengasuhan khusus” ini disekolah perumahan atau desa yang dibuat untuk menciptakan lingkungan yang manusiawi dan menyeluruh.
Guru mengajar anak-anak ditempat yang terpadu, bekerja untuk meraih keseimbangan dalam diri setiap anak yang akan membuat mereka mampu mengembangkan kemampuan mereka dan berusaha mengatasi keadaan difabel mereka. Kurikulumnya sama dengan kurikulum Waldrof tradisional tapi juga mencakup kegiatan seni terapeutik, produser fisik adaktif, pelatihan kejuruan dan pengalaman yang berhubungan dengan pekerjaan.
B.     Kritikan dalam Pendidikan Waldrof
Tiga kritik besar pada pendidikan Waldrof yang tampaknya sering muncul di situs PLANS: 1. Sekolah Waldrof adalah sekolah agama, 2. Kurikulum Waldrof didasarkan pada teori antroposofi Steiner, dan 3. Sekolah Waldrof tidak memberitahu tentang filosofi mereka atau ikatan mereka dengan antroposofi.
C.    Pendidikan Sekolah Waldrof Ditiru Disekolah Negeri
Guru bekerjasama anak-anak mampu mengembangkan hubungan yang bermakna dengan mereka, mampu merundingkan perilaku nakal dengan konsisten, dan mampu membantu siswa mengembangkan pembelajaran karakter dan kognitif dalam persiapan menjadi wanga Negara yang baik (Easton).
D.    Kesimpulan
Bila memiliki lebih banyak informasi tentang pendidikan anak-anak dari perspektif Waldrof bisa berguna, memiliki data penelitian dari pihak ketiga bahkan lebih penting bagi anak yang menyeluruh dan adil pada filosofi dan ide perkembangan pendidikan waldrof pada bidang pengasuhan dan pendidikan anak usia dini kita. Masih banyak yang perlu dipelajari tentang ilmu pendidikan Waldrof ditahun-tahun awalnya. Tampaknya ini adalah pendekatan khusus dalam mendidk anak yang menjanjikan, khususnya dimasa-masa sulit dan dengan semakin cepatnya irama kehidupan kita.











TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN



TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

TUGAS MANDIRI


Oleh
Meli Novikasari
F54011035

Untan-3.jpg

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU -  PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS TANJUNG PURA
PONTIANAK
2013



1.      Pengertian Belajar
A.    Skinner ( 1985 )
Skinner memberikan definisi belajar adalah “Learning is a process of progressive behavior adaption”. Yaitu bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif.
B.     Mc. Beach ( Lih Bugelski 1956 )
Memberikan definisi mengenai belajar. “Learning is a change performance as a result of practice”. Ini berarti bahwa belajar membawa perubahan dalam performance, dan perubahan itu sebagai akibat dari latihan ( practice ).
C.    Morgan, dkk ( 1984 )
Memberikan definisi mengenai belajar “Learning can be defined as any relatively permanent change in behavior which accurs as a result of practice or experience.” Yaitu bahwa perubahan perilaku itu sebagai akibat belajar karena latihan  (practice) atau karena pengalaman ( experience ).
D.    Menurut Slameto (2003:2)
Belajar yaitu suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

E.     Purwanto, dalam Panen (1999:84)
Mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.

2.      Pengertian Pembelajaran

A.    Gagne dan Briggs (1979:3)
Mengemukakan bahwa instruction atau pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal.

B.     Dick and Carey (1985)
Pembelajaran adalah anak didik belajar menguasai dan langkah-langkah prosedural bawaan yang ada harus diikuti anak didik untuk dapat belajar tertentu (sub ordinate skills).

C.    Sugandi, dkk (2004:9)
menyatakan bahwa pembelajaran terjemahan dari kata “instruction” yang berarti self instruction (dari internal) dan eksternal instructions (dari eksternal).

D.    Atwi Suparman (1979)
Mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik.

E.     Prof. Dr. Wina Sanjaya, M.Pd (2003:71)
Pembelajaran adalah yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan, siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media sehingga mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar dan mengajar dan guru sebagai fasilitator dalam mengajar.
3.      Teori Belajar Kognitif
            Bagi para penganut teori kognitif, belajar bukan hanya sekadar inteaksi antara stimulus dan respons melainkan melibatkan juga aspek psikologis lain (mental, emosi, persepsi) yang menyebabkan orang memberikan respons terhadap sebuah stimulus belajar.  Dalam perspektif ini, stimulus bukanlah variabel tunggal yang menyebabkan terjadinya respons melaikan terdapat variabel moderator tertentu yang turut mempengaruhi kemunculan suatu respons. Variabel moderator inilah yang disebut sebagai faktor intenal seperti emosi, mental, persepsi, motivasi dan sebagainya.
            Pada awalnya, para penganut teori kognitif membangun agumentasinya bahwa antara stimulus dan respons terdapat dimensi psikologis yang menyebabkan terjadinya perubahan mental dan akibat dari perbuhan inilah menyebabkan orang merespons suatu stimulus yang diberikan.Mengacu pada kerangka berpikir tersebut para penganjur teori kognitif berpendapat bahwa belajar merupakan proses pembentukan dan perubahan persepsi akibat interaksi yang sustainable antara individu dengan lingkungan.
            Berkaitan dengan belajar, Piaget membangun teorinya berdasarkan pada konsep Skema yaitu, stuktur mental atau kognitif yang menyebabkan seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengoordinasikan lingkungan sekitarnya (Suparno, 1997).
Skema pada prinsipnya tidak statis melainkan selalu mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan kognitif manusia. Berdasarkan asumsi itulah, Piaget berpendapat bahwa belajar merupakan proses menyesuaikan pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dipunyai seseorang. Bagi Piaget, proses belajar berlangsung dalam tiga tahapan yakni: ASIMILASI, AKOMODASI dan EQUILIBRASI.
1)      ASIMILASI adalah proses penyesuaian persepsi, konsep, pengalaman dan pengetahuan baru kedalam skema yang telah dimiliki seseorang.
2)      AKOMODASI yaitu, perubahan schemata ke dalam situasi yang baru. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: (1) membentuk skema baru yang cocok dengan pengetahuan yang baru diperoleh, atau (2) memodifikasi skema yang telah ada agar cocok dengan pengetahuan yang baru diperoleh.
3)      EQUILIBRASI yaitu, proses penyeimbangan berkelanjutan antara asimilasi dan akomodasi.
Menurut Paiget, belajar adalah proses perubahan secara kualitatif dalam struktur kognitif. Perubahan dimaksud terjadi, manakala informasi atau pengetahuan baru yang diterima sesorang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bersesuaian (diasimilasikan) dengan struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya.
            Kompleksitas pengetahuan dan struktur kognitif tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya asimiliasi secara mulus. Dalam kasus tertentu asimilasi mungkin saja tidak terjadi karena informasi baru yang diperoleh tidak bersesuaian dengan stuktur kognitif yang sudah ada. Dalam konteks seperti ini struktur kongitif perlu disesuaiakan dengan pengetahuan baru yang diterima. Proses semacam ini disebut akomodasi. Penekanan Piaget tentang betapa pentingnya fungsi kognitif dalam belajar didasarkan pada tahap perkembangan kognitif manusia yang dikategorikan dalam suatu struktur hirarkhis terdiri dari enam jenjang, mulai dari tahap sensori-motorik sampai tahap berpikir universal.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap Sensori motor (0 sampai kurang lebih 2 tahun)
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)


4.      Teori Belajar Behavioristik

Menurut teori behaviorisme, belajar dipandang sebagai perubahan tingkah laku, dimana perubahan tersebut muncul sebagai respons terhadap berbagai stimulus yang datang dari luar diri subyek. Secara teoritik, belajar dalam konteks behaviorisme melibatkan empat unsur pokok yaitu: drive, stimulus, response dan reinforcement.
1)      DRIVE yaitu suatu mekanisme psikologis yang mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhannya melalui aktivitas belajar.
2)      STIMULUS yaitu ransangan dari luar diri subyek yang dapat menyebabkan terjadinya respons.
3)      RESPONSE adalah tanggapan atau reaksi terhadap rangsangan atau stimulus yang diberikan. Dalam perspektif behaviorisme, respons biasanya muncul dalam bentuk perilaku yang kelihatan.
4)      REINFORCEMENT adalah penguatan yang diberikan kepada subyek belajar agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respons secara berkelanjutan.
            Ada dua tokoh terkenal dalam behaviorisme yang mempelopori teori ini dan mempunyai perbedaan dalam menjelaskan proses terjadinya belajar.
A.    Teori Classical Conditioning Ivan Pavlov
            Pavlov berbicara tentang stimulus yang dipersyaratkan (conditioning reflex) untuk memberikan respons yang dihapkan oleh lingkungan sesuai dengan tuntutan lingkungan (refleks yang dikondisikan) selanjutnya disebut dengan classical conditionting.
B.     Teori Operant Conditioning Skiner
            Skeiner beranggapan bahwa perilaku manusia yang dapat diamati secara langsung adalah akibat konsekuensi dari perbuatan sebelumnya. Kalau konsekuensinya menyenangkan, maka hal tersebut akan diulanginya lagi. Konsekuensi-konsekuensi tersebut adalah kekuatan pengulang (reinforcement) untuk berbuat sekali lagi.
Hal penting yang dapat dipelajari dari teori belajar Skiner yaitu (1) prosers belajar hendaknya dirancang untuk jangka waktu yang pendek beradasarkan tingkah laku yang dipelajari sebelumnya; (2) pada awal proses belajar perlu ada reinforcement serta kontrol terhadap reinforcement yang diberikan; (3) reinforcement perlu segera diberikan begitu terlihat adanya respons belajar yang benar; (4) subyek belajar perlu diberi kesempatan untuk melakukan generalisasi, dan diskriminasi stimuli sebab hal ini akan memperbesar kemungkinan keberhasilan.


5.      Teori Konstruktivistik

            Menurut teori ini pembentukan pengetahuan terjadi sebagai hasil konstruksi manusia atas realitas yang dihadapinya. Dalam perkembangan kemudian, teori ini mendapat pengaruh dari disiplin psikologi terutama psikologi kognitif Piaget yang berhubungan dengan mekanisme psikologis yang mendorong terbentuknya pengetahuan. Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengkostruksi pengetahuan. Proses tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai;
2) Konstruksi makna merupakan suatu proses yang berlangsung terus-menerus seumur hidup;
3) Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih berorientasi pada pengembangan berpikir dan pemikiran dengan cara membentuk pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil dari perkembangan melainkan perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan yang menuntun penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang;
4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skemata seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi disekuilibrium merupakan situasi yang baik untuk belajar;
5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan siswa;
6) Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah diketahuinya.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanis untuk mengumpulkan fakta.
           
            Dalam konteks yang demikian, belajar yang bermakna terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian dan selalu terjadi pembaharuan terhadap pengertian yang tidak lengkap. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut dapat ditarik sebuah inferensi bahwa menurut teori konstruktivisme belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengabstraksi pengalaman sebagai hasil interaksi antara siswa dengan realitas baik realitas pribadi, alam, maupun realitas sosial. Proses konstruksi pengetahuan berlangsung secara pribadi maupun sosial. Proses ini adalah proses yang aktif dan dinamis. Beberapa faktor seperti pengalaman, pengetahuan awal, kemampuan kognitif dan lingkungan sangat berpengaruh dalam proses konstruksi makna.




6.      Teori Humanistik
Istilah “humanisme” adalah temuan dari abad ke-19. Dalam bahasa Jerman. Humanismus pertama kali diciptakan pada tahun 1808, untuk merujuk pada suatu bentuk pendidikan yang memberikan tempat utama bagi karya-karya klasik Yunani dan Latin. Dalam bahasa Inggris “humanism” mulai muncul agak kemudian. Pemunculan yang pertama dicatat berasal dari tulisan Samuel Coleridge Taylor (1812), di mana kata itu dipergunakan untuk menunjukkan suatu posisi Kristologis, yaitu kepercayaan bahwa Yesus Kristus adalah murni manusia. Kata itu pertama kali dipakai dalam konteks kebudayaan pada tahun 1832 (Alister E. Mcgrath 2006, hlm. 53).

Menurut Sri Esti. W Djiwandon (2002, hlm. 181), ahli-ahli teori humanistik menunjukkan bahwa:
1)      tingkah laku individu pada mulanya ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, dan
2)      individu bukanlah satu-satunya hasil dari lingkungan mereka seperti yang dikatakan oleh teori ahli tingkah laku, melainkan langsung dari dalam (internal), bebas memilih, dimotivasi oleh keinginan untuk aktualisasi diri (self aktualization) atau memenuhi potensi keunikan mereka sebagai masusia.
           
            Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme.
Dari perspektif humanistik, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang (affektive) siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi dan moral.

7.      Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini

A.    Profesor Sandralyn Byrnes, Australia's & International Teacher of the Year

            Pendidikan anak usia dini atau PAUD yang baik dan tepat dibutuhkan anak untuk menghadapi masa depan, begitulah pesan yang disampaikan Profesor Sandralyn Byrnes, Australia's & International Teacher of the Year saat seminar kecil di acara Giggle Playgroup Day 2011, gelaran Miniapolis & Giggle Management.
PAUD akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat adalah menghadapi masa sekolah. "Saat ini, beberapa taman kanak-kanak sudah meminta anak murid yang mau mendaftar di sana sudah bisa membaca dan berhitung. Di masa TK pun sudah mulai diajarkan kemampuan bersosialisasi dan problem solving. Karena kemampuan-kemampuan itu sudah bisa dibentuk sejak usia dini," jelas Byrnes. Tentunya di usia dini, mereka akan belajar pondasi-pondasinya. Mereka diajarkan dengan cara yang mereka ketahui, yakni lewat bermain. Tetapi bukan sekadar bermain, tetapi bermain yang diarahkan. Lewat bermain yang diarahkan, mereka bisa belajar banyak; cara bersosialisasi, problem solving, negosiasi, manajemen waktu, resolusi konflik, berada dalam grup besar/kecil, kewajiban sosial, serta 1-3 bahasa.

"Karena lewat bermain, anak tidak merasa dipaksa untuk belajar. Saat bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam. "Tentunya cara bermain pun tidak bisa asal, harus yang diarahkan dan ini butuh tenaga yang memiliki kemampuan dan cara mengajarkan yang tepat. Kelas harusnya berisi kesenangan, antusiasme, dan rasa penasaran. Bukan menjadi ajang tarik-ulur kekuatan antara murid-guru. Seharusnya terbangun sikap anak yang semangat untuk belajar,

B.     Carnegie Ask Force (1994)
Menyebutkan perlunya pendidikan usia dini sebagai berikut:
1)      Perkembangan otak anak sebelum usia satu tahun lebih cepat dan ekstensif dari yang diketahui sebelumnya. Walaupun pembentukkan sel otak telah lengkap sebelum anak lahir tetapi kematangan otak terus berlangsung sesudah anak lahir.
2)      Gizi yang tidak layak pada masa ehamilan dan tahun pertama kelahiran secara serius mempengaruhi perkembangan otak anak.
3)      Pengaruh lingungan awal pada perkembangan otak berdampak lama atau tahan lama. Pemberian gizi yang baik, mainan dan teman bermain (stimulasi yang baik( berfungsi pada perkembangan otak lebih baik daripada anak yang tidak mendapat stimulasi lingkungan yang baik.
4)      Stimulasi lingkungan tidak saja menyebabkan penambahan jumlah sel otak dan penambahan jumlah hubungan antar sel tersebut terjadi. Proses pemekayaan ini sangat besar terjadi di usia dini.
5)      Stress pada usia dini dapat merusak secara permanen fungsi otak anak, cara belajarnya, dan memorinya.
C.    Benjamin Bloom
Dalam sebuah penelitian, Bloom mengatakan bahwa pengembangan intelektual seorang anak sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar 50%, variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi sejak anak berumur 4 tahun, peningkatan mutu 30% selanjutnya terjadi masa usia 4 – 8 tahun dan sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua atau ketika usia 8 – 15 tahun. Bloom juga mengatakan bahwa umur 0 – 4 tahun merupakan masa-masa penting pertama terhadap kaya miskinnya lingkungan sekitar yang menstimulasi perkembangan intelektuak masnusia. Bahkan lebih jauh ia menjelaskan bahwa ini berpengaruh pada perkembangan IQ dengan perbandingan bahwa lingkungan dengan stimulasi yang kaya akan menambah 10 unit IQ dari pada yang miskin ketika berumur 0 – 4 tahun., kemudian sekitar 6 unit IQ ketika berumur 4 – 8 tahun.
Bloom mengamati kecerdasan anak dalam rentang waktu tertentu. Ia menghasilkan taksonomi Bloom. Kecerdasan anak pada usia 15 tahun merupakan hasil dari pendidikan pada anak usia dini.
D.    Direktorat PAUD, (2004)
Sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia.

E.     Bronfer Brenner (1979) dalam Patmonodewo (2003: 45)
Melalui teori sistem ekologinya mampu menjelaskan perkembangan anak yang dihubungkan pada interakasi anak dengan lingkungannya secara terus menerus dan saling mempengaruhi satu sama lain secara transaksional.
Lingkungan anak usia dini mengandung lingkungan ekologi yang berorientasi pada :
·         Lingkungan fisik, yang terdiri dari objek, materi, dan ruang. Lingkungan fisik yang berbeda akan mempengaruhi anak.
·         Lingkungan yang bersifat aktivitas, terdiri atas kegiatan, bermain, kebiasaan sehari-hari, dan upacara keagamaan.
·         Berbagai orang yang ada di sekitar anak dapat dibedakan dalam usia, jenis kelamin, pekerjaan, status kesehatan, dan tingkat pendidikan.
·         Sistem nilai, sikap, dan norma. Ekologi anak akan lebih baik apabila anak diasuh dalam lingkungan yang menanamkan disiplin yang konsisten.
·         Komunikasi antar anak dan orang tua di sekelilingnya akan menentukan perkembangan social anak.
·         Hubungan yang hangat dan anak merasa kebutuhannya terpenuhi oleh lingkungannya akan menghasilkan perkembangan kepribadian yang lebih baik.













DAFTAR PUSTAKA

Semiawan, Conny,R. 2002. Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar. Jakarta: Indeks.
Lestari, Sri. 2012. Pendalaman Materi Taman Kanak-Kanak/RA. Pontianak: CV KAMI.

Sugandi, Achmad, dkk. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang: UPT MKK     UNNES.

Pannen, Paulina, dkk. 1999. Cakrawala Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Sugandi, Achmad, dkk. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP PRESS.

Budiningsih, C,Asri. 2008. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Atherton J S (2005) Learning and Teaching: SOLO Taxonomy [On-line] UK: Available:http://www.learningandteaching.info/learning/solo.htm Accessed: diakses tanggal 17 January 2009.
Dick W. And Carrey L. 1985. The Systematic Design Of  Instruction. Second Edition. Glenview, Illinois : Scott, Foreman and Company.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_anak_usia_dini

http://yanugilang.blogdetik.com/2011/04/16/dasar-dasar-dan-ruang-lingkup-           pendidikan-anak-usia-dini-paud/