Kamis, 04 Oktober 2012

BERMAIN ADALAH CARA BELAJAR YANG TERBAIK

BERMAIN : CARA BELAJAR YANG TERBAIK
BERMAIN DAN BELAJAR
  1. Batasan Bermain
Pada kehidupan sehari-hari kegiatan bermain begitu mudah diamati namun dalam beberapa situasi, bermain sulit dibedakan dengan kegiatan yang bukan bermain, Schwartzman (1978) mengemukakan suatu batasan bermain sebagai berikut :
Bermain dalam tatanan sekolah yang dapat digambarkan sebagai suatu rentang rangkaian kesatuan yang berujung pada bermain bebas, bermain dengan bimbingan, dan berakhir pada bermain dengan di arahkan.
  1. Berbagai Bentuuk Bermain
  1. Bermain social
Peran guru yang mengamati cara bermain anak, akan memperoleh kesan bahwa partisipasi anak pada kegiatan bermain dengan teman-temannya masing-masing akan menunjukan derajat partisipasi yang berbeda, Parten (1932) Brewer (1991) menjelaskan berbagai derajat partisipasi anak dalam kegiatan bermain, dapat bersifat soliter (bermain seorang diri), bermain sebgai penonton, bermain pararel, bermain asosiatif dan bermain bersama.
  1. Bermain seorang diri
            Anak bermain tanpa menghiraukan apa yang dilakukan oleh anak disekitarnya. Bentuk bermain dimana anak hanya sebagai penonton saja. Anak bermain sendiri sambil melihat anak lain bermain didalam ruang yang sama.
  1. Bermain parerel
            Kegiatan bermain yang dilakukan sekelompok anak dengan menggunakan alat permainan yang sama, tetapi masing-masing anak bermain sendiri.
  1. Bermain asosiatif
            Kegiatan bermain dimana beberapa orang anak bermain bersama, tetapi tidak adanya pengaturan.
  1. Bermain kooperatif
            Masing-masing anak memiliki peran tertentu guna mencapai tujuan bermain. Anak-anak dari kelompok usia akan menunjukan tahapan perkembangan bermain sosial yang berbeda-beda.
  1. Bermain soliter
Kegiatan bermain dimana anak tanpa memperhatikan apa yang dilakukan anak lain yang ada didekatnya.
  1. Bermain sebagai penonton atau pengamat (ONLOOKER)
Kegiatan bermain anak yang sedang bermain sendirian, sekaligus melakukan pengamatan apa yang terjadi dalam ruang dimana ia berada.
  1. Bermain pararel
Dimana beberapa anak bermain dengan materi yang sama, tetapi masing-masing bekerja sendiri.
  1. Bermain asosiatif
Dimana beberapa anak bermain bersama-sama, tetapi tanpa suatu organisasi.
  1. Bermain kooperatif
Dimana masing-masing anak diberikan peran yang diberikan, dalam mencapai tujuan bermain, mereka masing-masing melakukan perannya secara tergantung satu sama lain dalam mencapai tujuan bermain.
  1. Bermain dengan benda
Piaget (1962) mengemukakan bahwa ada beberapa tipe bermain dengan objek yang meliputi bermain praktis, bermain simbolik, dan permainan-permainan dengan peraturan. Bermain praktis adalah bentuk bermain dimana pelakunya melakukan berbagai kemungkinan bereksplorasi objek yang dipergunakan.
  1. Bermain sosio-dramatik
Bermain sosio-dramatik banyak diminati oleh para peneliti. Smilansky (1971), dan Brewer (1992), mengamati bahwa bermain sosio-dramatik memiliki beberapa elemen :
ü  Bermain dengan melakukan imitasi
ü  Bermain pura-pura seperti objek
ü  Bermain peran dengan menirukan gerakan
ü  Persisten
ü  Interaksi
ü  Komunikasi verbal
Bermain sosio-dramatik sangat penting dalam mengembangkan kreatifitas, pertumbuhan intelektual, dan keterampilan sosial.
  1. Perkembangan Tingkah Laku Bermain
Bermain pada bayi bersifat sensorimotor. Bayi menjelajahi benda maupun manusia yang di temuinya. Bayi selalu berusaha menyelidiki akhir dari perilakunya terhadap benda atau manusia yang di hadapinya. Pada akhir dari ulang tahunnya yang pertama, anak mulai menujukkan kegiatan bermain misalnya, pura-pura makan atau tidur (Rubin, Fein, dan Vandeberg, 1983). Anak-anak juga mulai bermain dengan orang lain.
Anak-anak usia prasekolah biasanya bermain dengan menggunakan alat permainan,  tetapi dengan bertambahnya usia mereka maka kegiatan bermain dengan benda-benda menurun. Pada akhir usia prasekolah anak-anak biasanya melakukan bermain konstruktif, bermain membuat suatu bentuk atau bagunan. Benda-benda yang ditemui akan diperlakukan secara simbolis atau bermain dengan beberapa aturan.
Anak-anak usia prasekolah biasanya bermain dengan mengeluarkan banyak tenaga, pada saat anak menginjak usia sekolah, bermain sosio-dramatis menurun secara drastis. Sedangkan bermain yang disertai peraturan, menunjukan anak mencapai tahapan konkret operasional (7-12 tahun). Lebih banyak dilakukan bermain sandiwara dengan cara memainkan sebagai peran, pada tahapan tersebut dapat ditemui anak-anak mulai banyak melakukan kegiatan bermain kompetisi yang menggunakan keterampilan bahasa dan kecerdasan.
  1. Peran Guru dalam Bermain
Guru harus berperan sebagai pengamat, melakukan elaborasi, sebagai model, melakukan evaluasi, dan melakukan perencanaan (Bjorkland. 1978). Guru melakukan elaborasi, guru dapat mengajukan pertanyaan yang akan merangsang anak mengembangkan daya pikirnya melalui peran yang sedang dilakukannya.
Guru yang menghargai bermain, selalu akan berusaha menjadi model dalam kegiatan bermain anak. Guru selalu mencari kesempatan ikut duduk bersama anak yang sedang bermain balok, dan ikut menempatkan satu atau dua balok dalam susunan bangunan yang dibuat anak.
Sebagai evaluator kegiatan bermain, guru bertugas sebagai pengamat dan melakukan penilaian terhadap sejauh mana kegiatan bermain yang dilakukan anak-anak akan memenuhi kebutuhan mereka masing-masing.
Yang  terakhir peran guru , guru harus merencanakan suatu pengalaman yang baru agar murid-murid terdorong untuk mengembangkan minat mereka. Guru menata kelas seakan-akan toko sepatu, ada rak sepatu, jumlah sepatu, ukuran sepatu, kursi-kursi, dan tempat pembayaran.
  1. Bermain dalam Tatanan Sekolah
Dalam beberapa hal bermain disekolah berbeda dari bermain dirumah. Biasanya di sekolah memiliki kesempatan bermain dalam kelompok yang lebih besar bila di bandingkan dengan kelompok bermain dirumah. Meteri permainannya jauh berbeda. Umumnya anak-anak tidak memiliki balok-balok dalam jumlah yang besar seperti yang tersedia disekolah. Macam alat permainan yang ada dirumah juga berbeda dengan yang ada di sekolah, sementara itu anak-anak harus belajar berbagi alat permainan dengan teman. Anak perlu belajar menyesuaikan diri dalam kelompok teman di sekolah. Dalam melakukan kegiatan disekolah, anak perlu belajar mengatasi gangguan dari teman tersebut. Para guru juga lebih sering melakukan perencanaan bagi kegiatan belajar anak dibandingkan orang tua mereka pada umumnya.
  1. Manfaat Bermain Di Sekolah
Bermain di sekolah dapat membantu perkembangan anak apabila guru cukup memberikan ruang, waktu, materi dan kegiatan bermain bagi murid-muridnya. Anak-anak membutuhkan waktu tertentu agar dapat mengembangkan keterampilan dalam memainkan sesuatu alat permainan. Anak yang lebih matang akan mampu melakukan kegiatan bermain dalam waktu yang lebih panjang dibandingkan anak yang masih muda usia yang hanya mampu bermain dalam jangka waktu yang lebih pendek. Adanya peningkatan usia dan kematangan pada seorang anak, akan tercermin dalam kegiatan bermain di dalam kelas. Anak-anak yang berada dalam berbagai tingkat kematangan akan menggunakan alat-alat bermain secara berbeda.
  1. Perbedaan Gender dalam Bermain
Melalui kegiatan pengamatan dalam bermain pada anak perempuan dan laki-laki di dapatkan bahwa cara bermain mereka menunjukan perbedaan. Sementara ahli berpendapat bahwa perbedaan tersebut telah dibawa sejak lahir, dengan perkataan lain mereka telah ditentukan secara genetik. Sementara ahli lain mengatakan bahwa perbedaan tersebut disebabkan karena cara pengasuhan yang berbeda sejak anak dilahirkan. Contohnya anak perempuan biasanya diberi hadiah boneka sedangkan anak laki-laki di beri hadiah bola. Hal-hal tersebut yang di atas dapat menjelaskan mengapa mereka kemudian bermain secara berbeda dari cara orang tua mengasuh dan menuntut mereka masing-masing maka tidak mengherankan bahwa tingkah laku mereka dalam bermain akan sama atau berbeda.

Dari berbagai penelitian dijumpai bahwa anak laki-laki lebih banyak bermain kasar, lebih aktif dibandingkan cara bermain pada anak perempuan. Anak lelaki juga lebih menyukai bermain yang bersifat petualangan yang disertai adanya unsur pahlawan. Sedangkan anak perempuan biasanya lebih banyak bermain yang bersifat konstruktif dan “bermain-meja”, mereka menunjukan minatnya terhadap alat permainan yang lebih bervariasi demikian pula dalam kegiatan bermainnya. Anak perempuan lebih suka bermain dalam kelompok kecil serta lebih sering mempunyai teman khayalan dari pada anak lelaki. Bila anak laki-laki maupun anak perempuan cendrung memilih teman yang sejenis.
Sebagai seorang guru dalam pendidikan prasekolah disarankan untuk tidak membedakan sarana dan kegiatan bermain antara anak laki-laki dan anak perempuan. Dengan demikian masing-masing anak akan mendapat petualangan yang luas, baik dalam mengembangkan kegiatan bermain maupun keterampilannya. Dengan demikian akan terjadi kesinambungan nilai tersebut baik didalam pendidikan maupun didalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar