Jumat, 21 Desember 2012

KETIKA ANAK BERTANYA SEKS Part I

1.      ANAK DAN KITA
Semua orang tua pernah bahkan dibuat tercengang oleh celoteh atau pertanyaan bocah. Namun, tampaknya tak bisa dimungkiri bahwa tidak semua dari kita mampu bersikap bijak dalam menanggapi celoteh atau menjawab pertanyaan anak yang selama ini dianggap cetek, tidak tahu apa-apa. Kita dapat menjadi panik, atas celoteh pertayaan mereka itu. Untuk menutupinya, kita sering mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa sang anak belum perlu mengetahui jawaban yang sebenarnya atas pertanyaan yang diajukannya. Celakanya, pada saat panik, jawaban yang dilontarkan terkesan asal-asalan. Sekenanya saja. Detik berikutnya, kita pun lupa atas jawaban dan sikap cuek di depan anak. Padahal, jawaban kita terpatri dalam memori sang anak. Ekspresi wajah kita yang tak bersahabat pun akan membuat anak menyesal telah bertanya. Padahal, ia benar-benar tidak tahu dan ingin mengetahui apa yang ia tanyakan karena ia memiliki hak untuk bertanya. Lebih lajut, sang anak akan merasa bersalah atas pertanyaan yang ia lontarkan.
Disadari atau tidak, jawaban kita yang asal bunyi dan sikap tidak mau ambil pusing dengan pertayaan anak merupakan cermin dari sikap posesif. Egois, dan kearogaan kita sebagai orang tua.
a.      Posesif
Sikap posesif (rasa menjadi pemilik) muncul karena anggapan bahwa anak adalah hak milik kita sehingga kita sering memaksakan kehendak pada anak atau mungkin juga bersikap over protected. Bila menempati posisi sebagai ibu, terkadang kita mengklaim bahwa anak adalah hak mutlak yang bisa kita kendalikan sekehendak hati karena sejak awal kehidupannya ia tumbuh dan berkembang dalam rahim kita. Begitu pun bila kita berperan sebagai ayah. Kita sering mengharuskan anak-anak mengikuti segala kemauan karena merasa telah mencari nafkah untuk mereka. Tak jarang, pemikiran mereka pun kita pasung dengan mengharuskannya mengikuti pendapat kita.
Semua itu terjadi karena sikap posesif orang tua pada anaknya. Padahal, mereka adalah milik sang khalik yang diamanahkan pada kita untuk dibina dengan penuh cinta, kasih saying, dan tanggung jawab.
“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Q.S.Al Anfaal 8:28)
Ayat diatas menegaskan bahwa anak adalah cobaan bagi orang tua. Ketika anak dimaknai sebagai amanah dan bukan sebagai hak milik, orang tua tengah berada dalam sebuah proses menuju keridaannya. Artinya, orang tua tersebut benar-benar memahami bahwa kehadiran anak ditengah-tengah mereka adalah scenario dari Sang Maha Pengatur Kehidupan sebagai ujian bagi mereka. Namun, ketika anak diartikan sebagai hak milik, orang tua tengah berada dalam proses menuju jurang kekecewaan, karena mereka akan banyak menaruh harapan terhadap anak sebagai sebuah konsekuensi yang timbul dari rasa memiliki. Bila anak dianggap sebagai hak milik. Orang tua akan memperlakukan anak sesuai dengan keinginannya. Jadilah anak sebagai objek, bukan subjek.
b.      Egois
Anak-anak, dengan kepolosan serta ketergantungannya terhadap orang tua, kadang menyebabkan kita sebagai orang tua memperlakukan mereka sekehendak hati. Akibatnya, segala sikap dan perilaku anak mesti sesuai dengan keinginan orang tua. Celakanya, keinginan orang tua tersebut sering mengatasnamakan kepentingan anak. Pada kondisi seperti ini, orang tua tidak menyadari bahwa mereka telah bersikap egois, tidak mau memahami perasaan anak. Bahkan menganggap anak belum memiliki perasaan sehingga orang tua selalu membuat perasaannya sebagai sebuah standar yang mesti dijadikan acuan.
Ketidaksadaran orang tua bahwa mereka telah bertindak egois, akan mengakibatkan terciptanya permasalahan yang lebih kompleks. Orang tua akan semakin merasa bahwa mereka adalah penguasa dalam sebuah keluarga. Anak pun akan merasa bahwa dirinya hanya sebagai alat untuk menyenangkan hati orang tuanya. Ia akan merasa sebagai objek dalam keluarga. Dengan kondisi seperti ini, anak akan mencari lingkungan yang dapat member apresiasi pada dirinya, menganggap sebagai objek. Ia akan mencari orang-orang yang dapat memahami diri dan perasaan.
c.       Arogan
Kearoganan kita sebagai orang tua mungkin saja terbentuk tanpa disadari. Sikap arogan terjadi karena kita merasa bahwa anak-anak tidak mengerti apa-apa dibandingkin dengan  kita yang telah banyak makan asam garam. Padahal, kalau saja mau merenung, betapa sangat terbatasnya pengetahuan kita. Hal ini terjadi karena cara pandang kita yang sangat kaku, yaitu melihat kematangan dan kedewasaan hanya dari sisi usia.  Padahal usia bukan satu-satunya jaminan seseorang memiliki pengetahuan dan ilmu yang luas.
Kearoganan yang dipupuk tersebut akan mengingkat statusnya menjadi kediktatoran ketika kita sebagai orang tua berupaya menutupi kekurangan diri dengan cara menyalahkan anak. Misalnya saja ketika anak bertanya tentang sesuatu hal yang tidak kita ketahui jawabannya, kita malah membentak sambil berkata, “huss... nggak pantas kamu bertanya seperti itu!”.
Ketiga sikap diatas yaitu posesif, egois, dan arogan muncul dari suatu paradigma bahwa anak merupakan sumber kebahagian, sehingga bila sang anak bertindak tidak sesuai dengan keinginan orang tua,  serta merta orang tua akan bertindak sebagai hakim yang memiliki kekuasaan tertinggi.
Ketiga sifat itu pun muncul ketika kita menganggap anak sebagai jaminan masa depan. Kita sangat khawatir anak-anak menjadi generasi yang lemah,. Kekhawatiran itu muncul bukan atas dasar tanggung jawab dan kasih sayang, tetapi karena khawatir terhadap diri kita sendiri.kita takut menghadapi masa tua dan kemudian terlantar manakala sang anak tidak pintar  dan tidak bisa bersaing didunia kerja.
Uraian tentang kecenderungan sikap kita sebagai orang tua seperti yang telah terurai bukanlah dimaksudkan untuk menelanjangi sikap-sikap negatif yang kadang bahkan mungkin sering diperagakan oleh kita sebagai orang tua. Namun menjadi langkah awal dari sebuah intropeksi yang jujur agar kita dapat melihat segala permasalahan yang berkaitan dengan kita dan anak-anak secara jernih. Anak adalah subjek bukan objek.

2.      BUAH HATI YANG TUMBUH PESAT
Masa-masa belita sering disebut golden age artinya usia nol sampai lima tahun sangat menentukan perkembangan anak pada masa-masa selanjutnya baik itu perkembangan fisik, kecerdasan ataupun psikis yang berkaitan dengan pengendalian emosi.
Orang tua yang memahami kondisi ini tentunya akan sangat menyesal bila tidak dapat memberikan bimbingan dan arahan secara optimal terhadap buah hatinya.  Namun sayang masih banyak orang tua yang memberikan bimbingan secara parsial, tidak menyeluruh. Misalnya, sebagaian orang tua memusatkan perhatian pada pengembangan otak dan kreatifitas anak dengan cara memasukkan anak-anak balita mereka ke taman bermain. Ada pula yang memusatkan perhatian pada pengembangan pertumbuhan fisik sehingga mereka sangat bersemangat membelikan vitamin dan suplemen yang diiklankan di televisi untuk anak-anak mereka. Juga ada yang memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang berkaitan dengan nilai-nilai spiritual dan ritual keagamaan.
Dalam masa golden age, terdapat fase-fase perkembangan anak yang perlu diketahui orang tua. Dari sisi fisik, sang buah hati mengalamai pertumbuhan yang sangat luar biasa pada usia 0-1 tahun. pertumbuhan fisik yang sangat cepat ini diiringi dengan ketrampilan motorik yang selalu menunjukan kemajuan dari hari ke hari. Begitu pula dalam kemampuan berkomunikasi. Pada usia 2 bulan, bayi sudah memberi respons dengan cara tersenyum dan tertawa. Usia 3 bulan, ia sangat menikmati perhatian yang ditunjukan padanya dan memberi respons teriakan atau menendang-nendangkan kakinya dengan semangat. Pada usia ini, ia sudah bisa merasakan kesepian bkila ditinggal sendirian sehingga ia akan menangis agar ada yang menghampiri dirinya.  Usia 6-7 bulan, ia sudah bisa bercengkrama dengan orang-orang yang berada disekitarnya dan merasa takut bila ada orang yang tidak dikenalnya mendekatinya. Usia 8 bulan ia dapat mrmberi respons dengan lambaian tangan dan suka berteriak untuk memcari perhatian. Usia 9 bulan, ia bisa mengucapkan kata-kata sederhana dan memahami maknanya seperti “papa” dan “mama’’. Usia 10-12  bulan, ia sudah mampu mengekspresikan perasaannya, misalnya saja ia akan marah bila tiba-tiba tangannya ditarik, padahal ia tengah menikmati aktivitasnya mengemuti jari tangannya.
Stephen R. Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective Families mengungkapkan betapa luar biasa hebatnya potensi anak balita. Ia menganalogikannya dengan sebuah pohon ajaib yang kemudian diberi nama pohon bamboo cina. Selama 4 tahun sejak benihnya ditanam, kita tak dapat melihat apa-apa kecuali sebuah tunas kecil yang keluar dari umbinya. Akan tetapi di balik tunas kecil itu, di dalam tanah tumbuh struktur akar yang besar dan berserat, tersebar ke segala arah dan menghujam jauh ke kedalaman tanah. Menginjak tahun ke lima, kita akan terkaget-kaget melihat pertumbuhannya. Pohon ajaib itu tumbuh dengan sangat cepat mencapai dua puluh lima meter. Subhanallah.
            Demikian pula dengan balita yang kita anggap tak tahu apa-apa dan tak ada apa-apa. Anak kecil yang sering kita lihat dari sisi kelucuannya semata, ternyata tengah membanngun jaringan yang sangat menakjubkan di dalam otaknya. Pada saat masih di dalam rahim, hamper seluruh sel neuron atau sel saraf otak telah terbentuk. Jumlahnya 10 juta-12 juta sel neuron. Satu sel neuron berkapasitas satu byte sehingga dalam otak bayi yang beratnya kurang dari satu kilogram terdapat suatu jaringan computer raksasa yang memiliki kapasitas memory sebesar 10-12 gigbyte.
            Setiap neuron berhubungan dengan 10 ribu neuron lain lewat jutaan kabel dan terminal yang membentuk organ otak. Memang jumlah serabut saraf, dendrif dan sinafsis yang menghubungkan sel-sel saraf tersebut lebih sedikit bila dibandingkan dengan orang dewasa. Namun, dalam tahun pertama pertumbuhannya, sel-sel penghubung perkembangan ini sangat cepat, ukuran otaknya menjadi tiga kali lebih besar. Semua itu dipengaruhi oleh aktivitas yang ditimbulkan oleh stimulasi yang diterima saraf-saraf yang menuju otak. Dr. T. Berry Brazelton dalam bukunya Born to be Genius: What Every Parent should Know in Boosting The Baby’s Mind mengungkapkan “Sel-sel yang tidak digunakan sampai anak berusia 12tahun akan mati satu persatu dan tidak dapat digantikan. Umunya, hanya setengah dari neuron sekitar 6 miliar yang tetap hidup.”
Pada kenyataannya, pesatnya perkembangan anak ini sering menyebabkan orang tua kewalahan tetapi orang tua jarang untuk mengakuinya karena orang tua sering kali berfikir bahwa anak kecil tidak tahu apa-apa. Anggapan inilah yang kemudian mengakibatkan orang tua membatasi kemampuan anak untuk menumbuhkembangkan kecerdasannya secara optimal, padahal pada usia balita anak-anak tengah berada pada fase inginselalu mengetahui apa yang mereka dengar, lihat dan rasakan.
Fase haus tanya ini dimulai pada usia anak 2-3tahun. Pada saat ini anak tengah mengembangkan kemampuan berbicara. Dari aspek kognitif, anak ingin mengetahui lebih banyak tentang lingkungannya. Awalnya, anak akan bertanya tentang sesuatu yang konkret dengan mengajukan pertanyaan “apa”. Dengan sangat cepat pertnyaan anak tersebut berubah menjadi “mengapa”. Artinya, kemampuan kognitif sudah berkembang secara tajam, karena ia telah menginginkan jawaban yang melibatkan nalar.
Sebenarnya, rasa ingin tahu anak sudah mulai muncul sejak usia satu tahun. Orang tua yang baik haruslah sangat peka terhadap perkembangan anaknya. Ketika naluri bertanya sejak awal perkembangannya (pada fase haus tanya) telah ditekan, dapat dipastikan perkembangan kemampuan anak baik dalam komunikasi maupun dalam aspek kognitif akan sangat terhambat.artinya, kita harus bersiap-siap melihat anak berlaku apatis, kehilangan daya kritis, serta daya kreasi dan inovasi yang minim.
a.      Mengimbangi Pesatnya Perkembangan Anak
Ada tiga hal yang menyebabkan orangtua sering skalah dalam bersikap ketika anak mengomunikasikan pengetahuannya terhadap suatu hal.
1.      Orang tua tidak memahami pentingnya menanggapi celoteh atau pertanyaan anak.
2.      Orang tua tidak mengetahui jawaban atas pertanyaan anak.
3.      Orang tua mengetahui jawaban atas pertanyaan anak tetapi menganggap jawaban tersebut belum pantas diketahui anak.
Ketiga hal tersebut bermuara pada kata “ketidakfahaman” orang tua. Oleh karena itu tidak ada jalan lain bagi orang tua selain berupaya untuk selalu menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Rasulullah saw.bersabda, “Mencari ilmu hukumnya wajib bagi muslimin dan muslimat”. Dalam riwayat lain dikatakan, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga tiang lahat.” Namun sayang, tampaknya saat ini terjadi distorsi makna dari perkataan wajib dalam hal menuntut ilmu.
Pencarian ilmu tentunya tidak terbatas pada sekolah formal atau melalui diskusi- diskusi ilmiah semacam seminar atau simposium. Seorang ibu rumah tangga dapat mencari ilmu melalui membaca buku, koran, atau majalah. Adalah suatu kesalahan yang sangat fatal bila lebih memilih menghabiskan sisa- sisa waktunya untuk menonton sinetron atau gosip murahan yang jelas- jelas tidak memiliki manfaat, bahkan mengundang dosa. Akan jauh lebih baik bermanfaat bila sang ibu mengisi waktu luangnya dengan banyak membaca. Dengn membaca, seorang ibu akan memahami keadaan zaman yang tengah di alami oleh anak- anaknya saat ini. Sungguh suatu zaman yang sangat berbeda bila di bandingkan dengan masa ia kecil dahulu. Demikian pula halnya dengan ayah. Kewajiban mencari nafkahtidak lantas menyebabkan ia terbebar dari kewajiban menuntut ilmu, termasuk di dalamnya menggali ilmu tentang perkembangan anak, serta hubungannya dengan perkembangan zaman.
Saat orang tua memiliki pengetahuan yang luas, pola pikir pun tidak akan terkungkung dalam suatu bingkai yang statis, seperti menyamakan masa kecilnya dengan keadaan anak- anak saat ini, misalnya saja dengan mengataka bahwa waktu kecil dulu ibu dan ayah tidak pernah bertanya macam-macam, pernyataan seperti itu jelas semakin membuat anak menjadi bingung. Ia tidak akan menemukan hubungan antara pertanyaan yang diajukannya dengan pernyataan orang tuanya. Misalnya saja anak bertanya, “Ma, payudara itu apa sih ?” lantas dijawab dengan nada kasar, “Hus... Mama dulu nggak pernah nanya-nanya gituan!”
Pada kasus tersebut, dapat kita lihat ada dua kesalahan besar yang dilakukan orang tua. Pertama, ia tidak menjawab pertanyaan anak yang benar. Kedua, dengn cara seperti itu, ia merasa telah melakukan tindakan yang benar sehingga tindakan tersebut akan selalu berulang.
Oleh karna itu, orang tua perlu membuka mata selebar- lebarnya terhadap perkembangan zaman, menyerap ilmu pengetahuan samaksimal dan seoptimal mungkin, memahami karakteristik masing-masing individu dalam keluarga, dan memformulasikannya menjadi tata aturan tak tertulis yang dapat dijadikan pedoman masing- masing anggota keluarga dalam setiap persoalan yang dihadapi, termasuk dalam hal menyikapi pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan anak.
3.      MENJAWAB PERTANYAAN ANAK
            Anak, dalam perjalanannyameniti fase haus tanya, tentunya akan sangat merasa senang dan puas bila pertanyaannya mendapat tanggapan positif dari orang tuannya. Orang tua kadang tidak merasa perlu memberikan respons yang baik sehingga menjawab setiap pertanyaan anak dengan wajah dingin, sambil terus melakukan aktivitas yang tengah di kerjakannya. Secara tidak sadar, saat orang tua tidak menunjukan respon yang baik terhadap pertanyaan anak, anak berada dalam kebingungan. Di satu sisi, ia ingin mengetahui tentang sesuatu, tetapi disisi lain ia pun merasa tak enak hati karena merasa dicuekin .
            Bila anak sudah sakit hati karena orang tua tidak menghargainya dengan menjawab pertanyaannya sambil lalu, bagaimana dengan ketika pertanyaan yang di ajukan malah desambut dengan kecaman atau hardikan dari orang tua? Tentunya anak akan semakin bingung, menarik diri, kapom bertanya, atau mungkin pula mencari jawaban dari orang lain. Oleh karena itu, memberikan tanggapan positif dan mencoba menjawab pertanyaan anak dengan cermat dan tepar adalah sebuah keharusan.
            Tindakan lain yang sering di lakukan orang tua ketika menghindari pertanyaan anak adalah mengalihkan perhatian anak terhadap hal lain. Akibatnya anak menjadi bingung dan secara tidak sadar orang tua telah mengajarkan anak untuk lari dari tanggung jawab.
Mendidik anak adalah mendidik generasi baru. Artinya, bila kita mendidiknya dengan baik dan benar, akan tumbuh generasi yang baik. Begitu pula sebaliknya, bila anak dididik dengan ketidakjujuran, generasi yang tumbuh kemudian adalah generasi yang tidak memiliki mental percaya diri yang baik.
Caranya adalah dengan tidak membentengi rasa ingin tahu anak dengan memotong pertanyaan yang ia lontarkan hanya karena dianggap tidak cocok dengan umurnya. Memotong pertanyaan anak, apalagi sambil memarahi dan membentaknya, hanya akan membuat spontanitas dan kebebasan berfikir anak menjadi terkekang.
Keluarga hendaknya menjadi lahan subur bagi tumbuhnya bunga-bunga yang elok. Karenanya, sudah semestinya orangtua menjawab pertanyaan anak dengan cara yang dapat membuat hati anak senang, sehingga anak dapat berpikir merdeka, tidak takut mengutarakan apa yang ada dialam benaknya.
Respon yang baik itulah kunci awal dalam membuka gerbang komunikasi sehingga kita dapat mengetahui siapa lawan bicara kita. Sebagai contoh, jika ada yang menhajak kita berbicara, hendaknya kita hadapkan seluruh anggota badan kita kepada lawan bicara, lalu kita perhatikan dengan sungguh-sungguh kata demi kata yang diucapkan lawan bicara kita.
a.      Mencari Jawaban Sederhana
 Komunikator yang baik adalah komunikator  yang bisa memahami siapa lawan bicaranya. Dalam menjawab pertanyaan, tentunya kita mesti menyelami tingkat pemahaman anak dan sejauh mana kemungkinan ia dapat mencerna jawaban yang kita berikan. Anak tidak membutuhkan jawaban yang detail dan panjang lebar. Yang ia perlukan adalah jawaban yang sederhana, sesuai dengan kemampuan berfikirnya. Contoh saat anak bertanya tentang apa, kita cukup menjawab dengan jawaban yang singkat, tidak  perlu menjelaskan dengan panjang lebar. Misalnya saja anak bertanya,”Bunda, itu binatang apa?” Kita hanya perlu menjawab dengan berkata,”Oh, itu  kambing Nak.” Kita tidak perlu menjelaskan bahwa kambing itu berkaki empat, kambing makannya rumput, atau kambing itu termasuk hewan yang bisa di qurbankan saat Idul Adha. Penjelasan yang demikian panjang justru akan memancing anak untuk bertanya lebih lanjut. Anak akan bertanya,kenapa kambing makan rumput atau apa itu qurban ?
Meskipun jawaban yang diberikan cukup singkat, bukan berarti orangtua tidak memperhatiakan sikap yang harus diperagakan di depan anak. Kontak mata merupakan suatu keharusan sehingga anak merasakan bahwa pertanyaannya ditanggapi dengan baik.
Apabila jeli mengamati perkembangan anak, selain mewakili rasa ingin tahunya, kita akan mendapati bahwa pertanyaan yang disodorkan anak juga menggambrakan tingkat pemikiran dan pemahamannya.
Pertanyaan yang dijawab dengan benar dan sederhana sehingga mudah dicerna, akan sangat kuat menempel dalam memori anak, karena pada fase ini pun ingatan sang anak sangat tajam. Pada fase ini ia mampu menyerap dan mengingat informasi dengan sangat baik.
Kesimpulannya, tanggapan yang baik haruslah diperagakan orang tua saat sang buah hati bertanya. Baru setelah itu, berupaya menjawab pertanyaan yang diajukan tanpa memilah-milah jenis pertanyaan. Kalaulah orangtua benar-benar tidak mengetahui tentang apa yang ditanyakan anak atau merasa bingung tentang jawaban yang pantas diberikan, hendaknya tak usah gengsi untuk mengatakan bahwa sementara ini belum ada jawabannya. Selanjutnya, kita janjikan pada mereka untuk segera mencari tahu jawabannya. Tentunya kita harus menepati janji itu aagar kepercayaan anak tidak berkurang atau hilang.
Respons yang baik tetap harus diperagakan orangtua, walaupun anak bertanya pada situasi yang tidak tepat. Misalnya saja ketika sedang ada tamu, tiba-tiba anak menghampiri dan beertanya tentang sesuatu. Orangtua hendaknya tidak memarahi anak. Cukup katakana dengan santun,”Dedek mau tanya apa,nanti ya sayang. Sekarang bunda lagi ngobrol sama tante.” Kalau anak tetap bersikeras, oraang tua bisa minta waktu sebentar kepada tamu untuk mmengalihkan perhatian pada sang buah hati. Hal ini hendaknya dipahami orangtua dengan baik, karena anak-anak tetaplah anak-anak, ia tak bisa dianggap sebagai orang dewasa yang sudah berpikiran matang.
b.      Menjawab Dengan Analogi
Tak jarang orang tua harus berfikir keras untuk mengemukakan jawaban yang sederhana dan mudah dicerna. Salah satu cara yang  dapat dilakukan adalah dengan menggunakan analogi atau perbandingan.
Namun orangtua benar-benar harus cermat dalam mengambil analogi. Kalau sekiranya penggunaan analogi tersebut akan membuat anak semakin binggung dan orangtua pun tidak siap dengan pertanyaan –pertanyaan susulan berkaitan dengan analogi tersebut, orangtua hendaknya tidak perlu memaksakan diri untuk menjawabnya dengan analogi. Selain itu, penggunaan analogi yang tidak cermat dan sembarangan akan menyebabkan kerangka berpikir anak menjadi salah. Misalnya saja menganalogikan penis dengan burung atau vagina dengan dompet.

1 komentar:

  1. Mohon ijin ya kakak untuk comment.
    Ketika Anak Usia Dini bertanya tetang hal yang berhubungan atau menyinggung tentang "seks" maka kita sebagai orang tua harus menjelaskan dan menanggapinya secara postive, karena jika orang tua menjawab sekenanya atau masih menganggap hal yang berbau seks adalah hal yang tabu untuk diperbincangkan dan dibahas maka anak suatu saat bisa menjadi salah jalan, karena mendapat jawaban yang kurang tepat atau memuaskan. Tapi hal ini akan berbanding terbalik jika orang tua akan memberikan pendidikan dan penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan seks secara positive, anak akan menjadi lebih paham, mengerti, dan dapat memposisikan dirinya secara positive pula.
    jadi, pesan untuk para orang tua dan c alon orang tua, jangan pernah ragu, menutupi dan menganggap seks adalah hal yang tabu bagi anak usia dini. Jelaskanklah pada mereka secara positive dan mendidik.

    BalasHapus