Rabu, 09 April 2014

karakteristik anak berkelainan mental emosional

Karakteristik Anak Berkelainan Mental Emosional
A.    TUNAGRAHITA
Anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan mental-emosional, yaitu anak tunagrahita,tunadaksa dan tunalaras.
1.        Karakteristik Tunagrahita
Karakteristik anak tunagrahita, yang lebih spesifik berdasarkan berat ringannya kelainan dapat dikemukakan sebagai berikut:
A.       Mampudidik
Mampudidik merupakan istilah pendidikan yang digunakan untuk mengelompokan tunagrahita ringan. Mampudidik memiliki kapasitas intelegensi antara 50-70 pada skala Binet maupun Weschler. Anak mampudidik kemampuan maksimalnya setara dengan anak usia 12 tahun atau kelas 6 sekolah dasar, apabila mendapat pelayanan dan bimbingan belajar yang sesuai maka anak mampudidik dapat lulus Sekolah dasar. Tunagrahita mampudidik umumnya tidak disertai dengan kelainan fisik baik sensori maupun motoris, sehingga kesan lahiriah anak mampudidik tidak berbeda dengan anak normal sebaya, bahkan sering anak mampudidik dikenal dengan terbelakang mental 6 jam, hal ini dikarenakan anak terlihat terbelakang mental sewaktu mengiuti pelajaran akademik di sekolah saja, yang mana jam sekolah adalah 6 jam setiap hari.
B.       Mampulatih
Tunagrahita mampu latih secara fisik sering memiliki atau diserati dengan kelainan fisik baik sensori maupun motoris, bahkan hampir semua anak yang memiliki kelainan dengan tipe klinik masuk dalam kelompok mampulatih sehingga sangat mudah untuk mendeteksi anak mampu latih, karena penampilan fisiknya (kesan lahiriah) berbeda dengan anak normal sebaya. Anak mampulatih memiliki kapasitas intelegensi (IQ) berkisar 30-50, kemampuan tertingginya setara dengan anak normal usia 8 tahun atau kelas 2 SD. Kemampuan akademik anak mampulatih tidak dapat mengikuti pelajaran yang bersifat akademik walaupun secara sederhana seperti membaca, menulis dan berhitung. Anak mampulatih hanya mampu dilatih dalam keterampilan mengurus diri sendiri dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
C.       Perlu rawat
Anak perlu rawal adalah klasifikasi anak tunagrahita yang paling berat, jika pada istilah kedokteran disebut dengan idiot Anak perlu rawat memiliki kapasitas inteligensi di bawah 25 dan sudah tidak mampu dilatih keterampilan. Anak ini hanya mampu dilatih pembiasaan (conditioning) dalam kehidupan sehiri-hari. Seumur hidupnya tidak dapat lepas dari orang lain.
2.        Periode-periode anak tunagrahita
Adapun periode-periode anak tuna grahita adalah sebagai berikut:
A.       Anak tunagrahita pada periode bayi sampai kanak-kanak (usia pra-sekolah)
Anak tunagrahita sejak lahir sudah memiliki kemampuan sosial, hanya tingkat kemampuan sosial yang dimiliki anak tunagrahita lebih rendah dibanding anak normal. Pada bulan kedua, ketiga setelah kelahirannya, bayi sudah dapat merespon lingkungan. Bayi akan bereaksi ketika lingkungan memberikan stimulus. Pada anak tunagrahita kesulitan untuk merespon lingkungan.
Keterbatasan inteligensi yang dimiliki anak tunagrahita ini, menyebabkan anak kesulitan untuk belajar tentang lingkungan, sehingga anak menjadi sulit untuk memenukan kepercayaan. Dengan demikian perkembangan sosial anak tunagrahita mengalami hambatan, anak mempunyai problem dibidang penyesuaian sosial. Untuk mengatasi ini diperlukan keberadaan seorang ibu, yang mau menerima anaknya seperti apa adanya, dengan memberikan rasa aman, kasih sayang dan merawat anak tunagrahita dengan baik.
B.       Anak tunagrahita pada periode sekolah
Pada teori Rotter’s tentang belajar sosial dikatakan bahwa orang itu mempunyai harapan-harapan untuk sukses. Kesuksesan ini merupakan reinforcement bagi anak. Berdasarkan teori Rotter’s tentang belajar sosial ini, maka dapat dianalisis bahwa anak tunagrahita juga mempunyai harapan untuk sukses, namun dalam kenyataannya anak tunagrahita jauh dari sukses, terus menerus mengalami kegagalan, sehingga sulit untuk mendapatkan reinforcement. Sulit memperoleh reinforcement ini menyebabkan anak tunagrahita mempunyai motivasi yang rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Welch & Drew (1972) mengatakan pemberian rewards merupakan variabel yang perlu diadakan untuk mengatasi perasaan gagal pada anak-anak tunagrahita. Untuk itu guru, konselor vocational rehabilitation, orang tua harus memberikan pengalaman sukses atau situasi sukses untuk anak-anak tunagrahita usia sekolah ini. Pengalaman-pengalaman sukses ini akan memberikan motivasi untuk belajar lebih banyak, dan menciptakan situasi kompetitif. Dengan demikian kegagalan akan dihadapi sebagai pengalaman yang realistis.
C.       Tunagrahita Remaja
Perkembangan sosial remaja lebih ditekankan pada sosialiasai, penampilan, rekreasi dan pengunaan waktu luang. Latihan bersosialisasi perlu dilakukan agar remaja tunagrahita mempunyai kemampuan untuk berinteraksi sosial dengan orang lainyang setelah menginjak dewasa. Demikian juga anak harus diajarkan, berpakaian rapi dan bersih. Penggunaan waktu luang pada remaja tunagrahita, juga perlu diperhatikan, sehingga tunagrahita tidak jatuh pada orang-orang yang tidak bertangung jawab.
D.       Tunagrahita Dewasa
Pada anak tunagrahita dewasa, perkembangan sosial lebih ditekankan pada kemampuan hidup ditengah-tengah masyarakat banyak, dengan keterbatasannya. Pada tunagrahita dewasa diharapkan anak sudah memiliki kemandirian di bidang sosial.
Anak tungarahita mempunyai keteampilan adaptif yang rendah. Sperti yang dijelaskan oleh Kirk & Gallaggher (1989) bahwa, anak tunagrahita mengalami deficit dalam perilaku adaptif, hal ini menyebabkan anak tunagrahita mengalami masalah dalam penyesuaian diri dan penyesuaian sosial. American Association on Mental Retardation/AAMR (dalam Beirne-Smith, et.al., 2002) mengemukakan 10 area keterampilan adaptif. 10 area tersebut adalah:
1.    Komunikasi
2.    Merawat diri
3.    Hidup berumah tangga ( home living)
4.    Keterampilan sosial
5.    Menjalin kerukunan (community use)
6.    Mengarah atau membimbing diri (self-derection)
7.    Kesehatan dan keselamatan
8.    Memfungsikan kemampuan akademik
9.    Memanfaatkan waktu luang
10.Bekerja.
Kesepuluh area keterampilan adaptif tidak mudah di jangkau oleh anak tunagrahita, sehingga anak tunagrahita mempunyai masalah dalam penyesuaian diri dan penyesuaian sosial. Kehadiran orang tua dengan memberikan kepuasan emosi, latihan-latihan menolong diri sendiri yang diberikan guru akan sangat membantu anak tunagrahita dalam menguasai keterampilan adaptif dengan keterbatasanya.
Sehubungan dengan keterbatasan kognitifnya maka kesulitan bagi lingkungan untuk mengenalkan norma-norma yang ada di masyarakat. Willerman (1977) menjelaskan bahwa dalam menerima informasi anak-anak normal lebih bersifat aktif, sedang pada anak tunagrahita cenderung pasif, tergantung lingkungan yang memberikannya. Selanjutnya di katakan anak mudah sekali kena bujukan atau mudah sekali tersugesti. Sehingga sangat berbahaya apabila anak berteman dengan anak-anak yang menyimpang perilakunya.
Willerman (1979) mengatakan pemberian kesempatan untuk berhubungan sosial pada anak tunagrahita banyak membantu perkembangan sosialnya. Faktor lain menurutnya adalah kemandiriannya. Latihan kemandirian juga akan banyak membantu anak untuk sukses dalam melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Perilaku stereotype menurut Baumeister & Forehand (dalam reiss, et,al., 1977) “Stereotype as highly consistent and repetitious motor or posturing behavior, the adaptive consequences of which, if any, are not immediately apparent.”
Maksudnya stereotype merupakan gerakan yang di ulang-ulang, dan sangat konsisten, gerakan itu dapat dari perilaku postur tubuh, sebagai konsekuensi dari adaftasi. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Berkson & Davenfort (dalam reiss, et.al., 1977) ditemukan bahwa stereotype banyak di derita anak tunagrahita laki-laki. Dalam penelitiannya ditemukan ada korelasi antara lamanya anak tunagrahita berada pada suatu lembaga dengan perilaku stereotype dan ada korelasi yang negatif antara IQ dan stereotype.
Mengenai stereotype ini ada beberapa teori yang di kemukakan, yaitu stereotype terjadi sebagai bentuk untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan-ketegangan. Ada juga teori yang mengatakan bahwa stereotype ini terjadi sebagai bentuk stimulasi diri, karena stimulasi sensory terutama pada mata sangat terbatas. Karena itu biasanya stereotype ini banyak terjadi pada anak tunanetra yang sering disebut dengan blindism.
1.         Perkembangan Emosi Tunagrahita
Perkembangan emosi sudah dapat mencapai perkembangan yang optimal apabila anak sudah dapat mencapai perkembangan emosi, maksudnya anak dapat mengelola emosinya dan dapat mengekspresikan emosinya sesuai dengan aturan-aturan atau cita-cita masyarakat. Kemandirian kemampuan untuk berinisiatif menurut Erikson’s banyak dipengaruhi perkembangan emosi pada masa kanak-kanak. Ada 2 sikap yang tidak menguntungkan untuk perkembangan emosi. Sikap tersebut adalah overprotection, otoriter, dan memberikan kebebasan. Ketiga sikap tersebut sebenarnya sebagai manipestasi sikap menolak, atau kekecewaan terhadap anaknya yang cacat.
Reiss, et.al., (1977) mengatakan pada anak tunagrahita sering mengalami gangguan emosi dan masalah-masalah perkembangan emosi sehubungan dengan kemampuan yang rendah. Perilaku emosi yang dinampakkan seperti agresif. Baik verbal maupun performance, marah (kadang meledak-ledak), withdrawl, takut, cemas, dingin, infulsif, lancang dan merusak. Selanjutnya dikatakan oleh Reiss, bahwa hubungan antara subnormalita mental dan gangguan emosi itu sangat kompleks, sebab maslah emosi ini juga disebabkan oleh faktor-faktor yang lain.
Reiss, et.al., (1977), Prieda Mangunsong, Dkk, (1998) mengatakan motivasi anak tunagrahita inferior, terutama pada tugas-tugas yang memerlukan aspek interelegensi. Pada anbak anak tunagrahita mempunyai ketahanan memperhatikan lebih pendek di bandingkan dengan anak normal. Di laporkan anak tunagrahita, mempunyai harapan-harapan untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya, tetapi sering kali mengalami kegagalan, sehingga ia menjadi takut untuk mencoba. Pikiran yang ada padanya selalu tidak bisa mengerjakannya, kegagalan, ada dorongan untuk minta bantuan. Pikiran-pikiran akan kegagalan ini menjadikan self-fulfilling prophecy yang akan mempimpin dan mengarahkan pada kegagalan-kegagalan selanjutnya dalam waktu lama, sehingga menjadikan anak tunagrahita tidak pernah mau mencoba.
Sutjihati Somantri (2004) mengatakan bahwa lingkungan yang positif, akan menjadikan berkembangnya emosi-emosi yang positif pada anak tunagrahita. Emosi-emosi yang positif itu seperti cinta, girang dan simpatik. Emosi-emosi ini terjadi pada lingkungan yang lebih bersifat kongkrit, terutama pada anak tunagrahita yang masih muda.
Reiss, et.al.,(1977), Drew et.al., (1986) berpendapat bahwa anak tunagrahita sering di tolak oleh sekelompok anak-anak yang normal, akibatnya anak jadi frustasi, marah dan memberontak atau menentang. Perkembangan akademik anak tunagrahita mengalami hambatan, kemampuan membaca, mendengar, menghitung dan kemampuan berpikir logis ada dibawah anak-anak normal. Keterbatasan intelegensinya menyebabkan anak tunagrahita sering tidak selesai mengerjakan tugas.
Perkembangan emosi anak tunagrahita lebih lambat dibandingkan anak normal. Anak tunagrahita sering menunjukkan perilaku influsif, adanya gangguan emosi seperti agresif dan withdrawl.

2.         Perkembangan Keperibadian
Ada 2 teori yang dapat digunakan untuk menerangkan keperibadian anak tunagrahita. Teori-teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikikut:

a.         Teori sifat
Beirne-Smith et.al,. (1986) menerangkan bahwa, pada teori sifat ini keperibadian manusia dibagi menjadi 5 aspek, yaitu (1) keperibadian yang neurotic (kecemasan dan perasaan tidak aman), (2) ekstraversion (kemampuan sosial), (3) Agreeableness (ramah, kepercayaan dan kerjasama), (4) Opennsess (ketebukaan, kemandirian, imajinasi dan bermacam-macam kemauan), (5)Conscientiouness ( organisasi, kehati-hatian dan disiplin diri).
b.        Teori keperibadian Zigler’s
mZigler’s (dalam Beirne-smith, 2002) mengemukakan bahwa struktur keperibadian atau pola perilaku anak tunagrahita pada umumnya sama. Ada 5 ciri yang di identifikasi sebagai keperibadian anak tunagrahita yaitu (1) harapan untuk sukses rendah, (2) takut gagal, (3) selalu ingin dipuji, kebutuhan untuk selalu mendapatkan reinforcement, (4) cenderung mengikuti perintah orang lain, (5) sangat tergantung orang lain.

B.       TUNADAKSA
Perkembangan sosial, emosi dan keperibadian tunadaksa
1.         Perkembangan sosial anak tunadaksa
Secara langsung tidak ada hambatan dalam perkembangan sosial pada anak tunadaksa golongan ini. Faktor utama terjadinya hambatan sosial ini bersumber pada sikap keluarga, teman-temanya, dan masyarakat. Ahmad Toha Muslim dan Sugiarmin (1996) menjelaskan sikap, perhatian keluarga dan lingkungan terhadap anak tunadaksa dapat mendorong yang bersangkutan untuk meningkatkan kemampuannya termasuk kemampuan bersosialisasi.
2.         Perkembangan emosi anak tunadaksa
Ketunaan yang ada pada anak tunadaksa, secara khusus tidak akan menghambat dalam perkembangan  emosi anak tunadaksa. Hambatan ini dialami setelah anak mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Seringnya ditolak, seringnya mengalami kegagalan ditambah lingkungan orang tua yang tidak menguntungkan, meyebababkan anak tunadaksa sering nampak muram, sedih, dan jarang menampakkan rasa senang. Dalam penelitian yang dilakukan Tin Suharmini (1995) dilaporkan penyandang tunadaksa lebih sering menejukkan kesedihan, depresi, stress, jarang tersenyu, kecemasan, withdrawl (penarikan diri), dan emosional. Pola-pola emosi yang ada pada anak tunadaksa seperti sedih, marah, cemas, takut dan menarik diri.
3.         Perkembangan keperibadian anak tunadaksa
Pada anak usia dini anak tunadaksa mengalami gangguan dalam fungsi mobilisasi, gangguan pada waktu merangkak, berguling, berdiri dan berjalan. Kondisi ini apabila didukung dengan sikap yang negatif dari keluarga maupun masyarakat sekitarnya, akan menjadikan pengalaman diusia dini yang sangat menyakitkan dan dapat menjadikan pengalaman-pengalaman yang traumatis pada anak. Keadaan fisik yang tidak sempurna, wajar apabila anak tunadaksa merasa kecewa, marah dengan kondisinya. Apalagi ini didukung sikap masyarakat yang tidak menyenangkan pada anak.

C.      TUNALARAS
Perkembangan Sosial, Emosi dan Keperibadian Anak Tunalaras
1.         Karakteristik Tunalaras
Anak tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalani aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya. Pada hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki kemampuan intelektual yang normal, atau tidak berada di bawah rata-rata. Kelainan lebih banyak terjadi pada perilaku sosialnya
Karakteristik umum :
·           Mengalami gangguan perilaku, suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak milik sendiri atau orang lain, melawan, sulit konsentrasi, tidak mau bekerjasama,sok aksi, ingin menguasai orang lain, mengancam, berbohong, tidak bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka mencuri, mengejek dan sebagainnya
·           Mengalami kecemasan, khawatir, cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak mau bergaul, menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis, malu dan sebagainya.
·           Kurang dewasa, suka berfantasi, berangan –angan, mudah dipengaruhi, kaku, pasif, seketika mengantuk, mudah bosan, dan sebagainnya.
·           Agresif suka mencuri dengan kelompoknya, loyal terhaadap teman jahatnya, sering bolos sekolah, sering pulang larut malam, dan terbiasa minggat dari rumah.
2.         Perkembangan Sosial Anak Tunalaras
Anak tunalaras mempunyai penyusaian yang salah, yang sering disebut dengan mal-adjustment yang baik dan mal adjusment ditinjau dari psikologi. Dari batasan ini dapat dikatakan bahwa penyusuaian adalah suatu proses mental dan reaksi dari perilaku individu untuk menyusuaikan dengan baik terhadap kebutuhan-kebutuhan dari dalam, tekanan, frustasi, dan konflik, sehingga menjadi satu kesatuan yang harmoni atau selaras antara dunia batin dan dunia luar untuk mencapai tujuan dalam kehidupan ini.
Dengan demikian orang dikatakan mempunyai penyusuaian yang baik apabila mempunyai ciri-ciri:
a.         Mempunyai kecakapan untuk belajar merealisi dirinya dan lingkungannya dengan matang.
b.        Bahagia dan mempunyai kepuasan hidup.
c.         Melakukan penyesuaian yang efesien.
d.        Dapat mengatasi konflik, frustasi dan kesukaran sosial dan pribadi tanpa ada gejala gangguan perilaku.
e.         Relatif bebas dari gejala kecemasan yang kronis, kekhawatiran, obsesi, phobia, gangguan psikosomatik.
f.         Mempunyai kehidupan yang kreatif, hubungan antara manusia baik, menikmati kehidupan dan terus menerus berusaha untuk mencapai perkembangan keperibadian yang ideal yaitu menunaikan aktivalisasi diri.
Sebaliknya, seseorang dikatakan mal-adjustment, apabila mempunyai ciri-ciri seabagai berikut:
a.         Mereaksi lingkungan dan dirinya dengan kekanak-kanakan.
b.        Merasa tidak bahagia dan tidak dapat menikmati hidup.
c.         Tidak efisien dalam melakukan penyusaian.
d.        Kurang dapat mengatasi konflik, frustasi, kesukaran sosial dan pribadi.
e.         Interaksi sosial kurang baik.
f.         Cemburu dan suka berprasangka .
g.        Biasanya tidak disukai oleh teman-temannya.


3.         Perkembangan emosi anak tunalaras
          Perkembangan emosi anak tunalaras mengalami hambatan, atau gangguan, sehingga sering terjadi gangguan emosi. Biasanya anak tunalaras berasal dari keluarga yang relatif kurang menguntungkan bagi anak, baik secara biologis, psikologis dan sosial, yang memungkinkan terjadinya kerentanan kejiwaan. Kerentanan kejiwaan ini sering menimbulkan konflik dan tekanan-tekanan emosi.
Gangguan emosi adalah kondisi yang dicirikan dengan respon emosi yang terlalu kuat atau terlalu lemah untuk ukuran yang sebenarnya. Ada 2 golongan gangguan emosi pada anak tunalaras yaitu:
a.    Agresif
Perilaku agresif dapat digambarkan sebagai perilaku menyerang, baik menyerang diri sendiri maupun orang lain. Bandura (1973) memberikan batasan tentang perilaku agresif sebagai berikut:
“ Behavior that results in personal injury and distruction of property”
Baron (1977) memberikan gambaran tentang perilaku agresif sebagai berikut:
“ Any from of behavior directed to ward the goal of harming or injuring another living being who is motivated to avoid suich treatment”
Dari batasan ini dapat dikatakan agresif digambarkan sebagai perilaku seseorang untuk menyerang seseorang atau kehidupan lain, baik fisik maupun psikis dengan tujuan merusak. Ada dua pertimbangan pokok yang menyebabkan suatu perilaku itu dikatakan agresif yaitu menyerang dan merusak.
Ada dua bentuk perilaku agresif yaitu agresif verbal dan agresif non verbal. Bentuk perilaku agresif verbal, seperti menyerang dengan kata lain kata-kata verbal, dan memaki. Bentuk perilaku agresif non verval adalah menyerang dengan perbuatan, seperti memukul, menempeleng dan sejenisnya.
b.    Withdrawl
Perilaku withdrawl adalah perilaku menarik diri, tingkah laku menyendiri atau mengasingkan diri. Anak ini mempunyai perasaan takut, khawatir untuk bergaul dengan orang atau anak lain. Menarik diri dari pergaulan sosial merupakan salah satu ciri orang yang mengalami kecemasan sosial seperti yang dikatakan Pekarik, et.al. (dalam Quay & Werry, 1986) kecemasan sosial merupakan refleksi penarikan diri dari situasi sosial. Senada dengan pendapat ini adalah Watson S. Friend (dalam Smith et.al 1983) mengemukakan bahwa dalam kecemasan sosial, kita perlu mengukur penarikan diri dari lingkungan sosial.
Respon emosi anak tunalaras sebagai akibat dari perlakuan orang lain ini terlalu kuat untuk ukuran yang sebenarnya. Perilaku yang nampak keluar menyerang orang lain, memukul, memaki teman atau guru atau merusak barang-barang yang ada di sekitarnya. Respon emosi yang terlalu lemah menyebabkan anak menjadi takut, cemas dan menarik diri.
4.         Perkembangan keperibadian anak tunalaras
Ditinjau dari teori keperibadian dari Freud (dalam Hall & Lindzey,1979), menyatakan ada 3 aspek keperibadian yaitu id, ego dan super ego. Id merupakan aspek biologis, yang berisi nafsu, dan keinginan-keinginan (seperti dorongan untuk makan, minum, sexual), dimana dorongan-dorongan ini dibawa sejak lahir. Aspek ego, merupakan aspek psikologis, yang lebih menekankan pada terpenuhinya kebutuhan secara realitas (nyata). Ego ini yang bertugas memenuhi kebutuhan, atau keinginan-keinginan id dengan memperhatikan super ego. Aspek super ego ini merupakan wakil dari cita-cita masyarakat. Ketiga aspek ini mempunyai prinsip kerja sendiri-sendiri, tetapi saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Manusia juga membutuhkan dunia realitas, yaitu yang ada pada apek ego, sehingga energi psikis dari id ke ego berjalan secara mekanis, melalui identifikasi.
Anak-anak tunalaras memiliki super ego yang rendah, sehingga ego dalam memenuhi kebutuhan id sering tidak diperhatikan norma-norma, atau cita-cita orang tua dan masyarakat. Akibatnya perilaku ditampilkan keluar adalah perilaku yang diinginkan saja tanpa kontrol, dengan demikian perilaku menyimpang, tidak selaras merupakan perilaku yang sering mendominasi anak-anak tunalaras. Kondisi ini yang menyebabkan anak tunalaras tidak dapat mencapai perkembangan keperibadian yang optimal. Anak kesulitan menemukan diri, sering berperilaku tidak pantas, egois, dorongan kerja sama sangat rendah.
Dari penelitian yang dilakukan penulis, ternyata anak tunalaras banyak berasal dari keluarga yang tidak menguntungkan. Anak kurang mendapatkan pola asuh yang benar. 70% anak-anak tunalaras berasal dari keluarga yang broken home, dengan pola asuh yang otoriter dan premissive. Mereka sering disuguhi perilaku-perilaku yang cenderung agresif, atau sebaliknya. Mestinya orang tua tidak hanya memberikan kasih sayang tetapi juga menanamkan kedisiplinan, bukan memanjakan, atau memberikan kebebasan tanpa kendali, tetapi membimbing dengan memperhatikan kebutuhan psikis anak.
































DAFTAR PUSTAKA
Tin Suharmini.2007.Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL.Jakarta.
Sutijati Somantri,2004.psikologi anak luar biasa.PT.Refika Aditama,Bandung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar