Senin, 04 Maret 2013

stres dan ancaman




STRES DAN ANCAMAN

Salah satu masalah kesehatan jiwa yang umum dialami masyarakat adalah stres. Menurut ilmu kedokteran, stres merupakan suatu tekanan pada manusia yang menimbulkan reaksi fisik maupun emsional yang non-spesifik keadaan tersebut bisa membuat orang yang mengalami menjadi rapuh. Namun dalam menghadapi sters, pada hakikatnya, laki-laki dan perempuan berbeda. Setidaknya ada 3 proses jasmani yang rumit, yang jelas-jelas membedakan mereka. Proses tersebut adalah haid, kehamilan, menopause. Ketiga proses tersebut menurut Dr. G. W. Lanoil dalam bukunya Coping With Stress, sesungguhnya merupakan anugerah yang berharga yang berkaitan dengan kemampuan reproduksi. Tetapi, “ketiga proses tersebut diduga merupakan penyebab utama terjadinya rangkaian stres pada kaum perempuan.
Stres yang dihadapi yaitu pola rasa takut yang dimulai sebagai suatu impuls dan otak kita, yang merangsang saraf simpatis untuk menggerakkan berbagai bagian ulit dan organ tubuh (jantung, paru-paru, usus besar), untuk menghasilkan tanda sdan gejala ketakutan: tangan berkeringat, jantung berdebar, nafas pendek, tenggorokan kering, dan sebagainya. Jika merasa takut, kita juga merasakan semacam sensasi mengerikan dalam rongga perut kita. Inilah unsur rasa takut yang paling menyebabkan stres. Namun demikian, gambaran lengkap dari rasa takut meliputi semua gejala yang didorong oleh keluarnya adrenalin.
Keadaan stres yang datang secara tiba-tiba dan berkepanjangan dapat membuat saraf pelepas adrenalinnya menjadi sensitif, sehingga menimbulkan gejala-gejala dangguan saraf secara berlebihan dan mengejutkan. Keadaan menjadi sensitif ini memang sudah dikenal baik oleh para dokter, tetapi kurang dimengerti oleh orang pada umumnya. Karenanya ketika pertama kali mengalaminya, orang akan menjadi bingung dan kemudian terperangkap rasa takut.
Depresi adalah salah satu tahap paling buruk dalam gangguan saraf, karena ini merampas begitu banyak keinginan untuk sembuh. Depresi disebabkan oleh keletihan jasmani.
Stres dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu:
1)      Ketakutan yang dulu datang lagi.
2)      Melihat sepintas sudut pandangan yang baru.
3)      Problem yang tak terpecahkan
4)      Bergantinya suasana
5)      Rasa bersalah dan malu
Ancaman dari stres yaitu:
1)      Perut mulas
2)      Tangan berkeringat dan gemetar
3)      Denyut jantung tidak teratur
4)      Sakit kepala
5)      Tenggorokan tersumbat
6)      Mual dan muntah berat badan menurun
7)      Kehilangan rasa percaya diri
Sedangkan Distres (stres yang negatif) yang terjadi secara berlebihan dan berkepanjangan akan berubah menjadi ancaman yang dapat membahayakan keselamatan seseorang yang mengalami distres. Ancaman adalah sesuatu yang tidak dapat diterima, berupa peristiwa intens yang melelahkan diluar kendali dan sangat mengganggu dan hal tersebut dapat mempertaruhkan nyawa dan keselamatan.
A.    Pembelajaran yang mengalami distres
Perbedaan antara stres positif (eustres) atau stres moderat dengan ancaman adalah gres yang moderat baik bagi siswa sedangkan distres dan ancaman tidak baik. Tubuh merespons pada stres kronis atau stres tingkat tinggi dengan melepaskan hormon kortisol dari kelenjar-kelenjar adrenal. Jumlah kartisol yang kecil terasa nyaman dan menjadi dorongan motivasi. Namun, jika terlalu banyak dapat menekan sistem kekebalan, menegangkan otot dan mengganggu pembelajaran. Akhirnya tingkat kortosol yang tinggi tersebut mengakibatkan munculnya perasaan putus asa atau terlalu terbebani. Namun yang lebih buruk lagi, pelepasan kortisol alam jangka panjang dapat menghancurkan neuron-neuron hipokampal yang berhubungan dengan pembelajaran (sapolky 1996, 1996;sylwester 1995).
Banyak siswa yang berperforma buruk barangkali hanya karena sedang dalam keadaan terlalu stres. Bagi pembelajar yang merasakan kesulitan untuk menemukan alternatif atau jalan keluar dari permasalahannya, yang berada dalam kondisi takut atau terancam, mereka mengalami bukan hanya berkurangnya kemampuan kognitif, tetapi sistem kekebalan tubuhnya juga berkurang.

B.     Otak yang mengalami stres
Wilayah otak yang paling terpengaruh oleh stres atau ancaman yang berat adalah pada hipokampus yang sangat sensitif terhadap kortisol. Kortisol dapat memperlemah tempat penyimpanan memori dan sistem pengindeks bagian terbesar dari kita, misalnya ketika siswa dalam menghadapi ujian ia stres, akibatnya siswa bisa menjadi sakit atau terkadang nilainya menurun.
Stres tingkat tinggi(distres). Keadaan stres yang berkepanjangan atau trauma akan berpengaruh pada memori. Memori sangat sensitif terhadap gangguan. Pengaktifan amigdala yang berlebihan melalui trauma dapat menghalangi berfungsinya hipokampal. Penelitian baru mengungkapkan bahwa lingkungan yang mengancam dapat memicu ketidak seimbamgan unsur kimiawi dan khususnya kekhawatiran. Serotin adalah modulator yang kuat dari emosi dan perilaku kita. Dan ketika tingkat serotin menurun, seringkali muncul kekerasan.
Perubahan aliran darah ke otak juga membawa pengaruh negatif pada pembelajaran yang terancam. Wayne Drevets.Ph.I) dari University of Pittsburgh (Drevets dan Raicle.1998). mengatakan bahwa ketika dihadapkan pada ancaman. Kita mengalami peningkatan aliran darah yang menuju ke lobus frontal (ventra) yang lebih rendah dan menurun aliran darah menuju wilayah bagian atas (dorsal) dari lobus frontal. Hal ini artinya wilayah otak yang memproses emosi mendapatkan pasokan darah yang sangat besar yang menciptakan rasa seperti meluap-luap. Sementara wilayah otak yang digunakan untk berfikir kritis, menilai dan kreativitas pasokan darahnya berkurang, sehingga kita kurang dapat berfikir kritis, menilai dan kurang dapat melakukan kreativitas.
Ancaman dapat didefinisikan sebagai segala macam stimulasi yang dapat menyebabkan /memicu rasa takut, tidak percaya, gelisah atau ketidakberdayaan pada umumnya. Keadaan ini merupakan akibat dari ancaman fisik atau bahaya yang dirasakan. Dalam keadaan terancaman, jenis apapun otak akan:
1)      Kehilangan kemampuan untuk menginterprestasi secara benar isyarat-isyarat dari lingkungan.
2)      Kembali kepada perilaku yang sudah terbiasa.
3)      Kehilangan beberapa kemampuan untuk mengindeks, menyimpan, mengakses informasi.
4)      Menjadi lebih otomatis dan terbatas dalam responsnya.
5)      Kehilangan beberapa kemampuan merasakan hubungan dan pola.
6)      Berkurangnya ketrampilan berfikir tinggi.
7)      Kehilangan jumlah kapasitas memori jangka panjang.

Tabel berikut menggambarkan gejala-gejala stres:
Gejala Emosional/Kognitif
Gejala Fisik
§  Mudah merasa ingin marah
§  Merasa putus asa saat harus menunggu sesuatu
§  Merasa gelisah
§  Tidak dapat berkonsentrasi
§  Sulit berkonsentrasi
§  Jadi mudah bingung
§  Bermasalah dengan ingatan (mudah lupa, susah mengingat)
§  Setiap saat memikirkan hal-hal negatif
§  Berpikir negatif tentang diri sendiri
§  Mood naik turun (mood mudah berubah-ubah, misalnya merasa gembira tapi tak lama kemudian merasa bosan dan ingin marah)
§  Makan terlalu banyak
§  Makan padahal tidak lapar
§  Merasa tidak memiliki cukup energi untuk menyelesaikan sesuatu
§  Merasa tidak  mampu mengatasi masalah
§  Sulit membuat keputusan
§  Emosi suka meluap-luap (baik gembira, sedih, marah, dan sebagai- nya)
§  Biasanya merasa marah dan bosan
§  Kurang memiliki sense of humor
§  Otot-otot tegang
§  Sakit punggung bagian bawah
§  Sakit di bahu atau leher
§  Sakit dada
§  Sakit perut
§  Kram otot
§  Iritasi atau ruam kulit yang tidak dapat dijelaskan kategorinya
§  Denyut jantung cepat
§  Telapak tangan berkeringat
§  Berkeringat padahal tidak melakukan aktivitas fisik
§  Perut terasa bergejolak
§  Gangguan pencernaan dan cegukan
§  Diare
§  Tidak dapat tidur atau tidur berlebihan
§  Napas pendek
§  Menahan napas

 Adapun Gejala stres yang lain dari segi emosi dan tingkah laku yaitu :
a)      Gejala emosi yang paling sering terlihat ialah anak merasa bosan (bahkan dengan hal-hal yang selama ini cukup dia sukai), kemauan dan keingintahuannya melemah, tidak partisipatif dalam kegiatan di rumah atau sekolah, sering marah-marah dan menangis, sering berbohong, bersikap kasar terhadap teman atau anggota keluarga yang lebih kecil, suka melanggar dan memberontak terhadap aturan-aturan, serta sering bereaksi secara berlebihan terhadap masalah-masalah kecil.
b)      Gejala tingkah laku merupakan gejala yang lebih sering dikenali perubahannya dalam diri anak. Biasanya, anak menunjukkan rasa tidak senang dan memusuhi, menunjukkan ketidakmampuan mengontrol emosi, keras kepala, suka membantah dengan sikap dan kata-kata kasar, temperamen yang berubah-ubah dan perubahan dalam pola tidur, serta munculnya kebiasaan-kebiasaan baru seperti mengisap jempol, memutar-mutarrambutnya, atau mencubit-cubit hidung.

  1. Faktor-Faktor Penyebab Stres
Secara umum, ada 2 faktor penyebab sres pada anak, yaitu faktor internal, seperti rasa lapar, rasa sakit, sensitif terhadap suara gaduh, ribut, keramaian orang dan perubahan suhu, serta  faktor eksternal yang meliputi faktor orang tua, keluarga, sekolah, teman atau lingkungan anak tersebut.
  1. Faktor internal
Faktor ini berkaitan dengan kemampuan fisik dan kesiapan mental anak menghadapi hal-hal yang bisa membuatnya stress, sehingga anak perlu dibekali kesiapan menghadapi stres sejak masa kecilnya agar anak dapat menikmati kebahagiaan masa kecilnya. Dalam kondisi tertentu, rasa lapar dan rasa sakit seringkali memicu amarah si kecil, uring-uringan dan marah-marah. Dorongan rasa lapar atau rasa sakit yang sangat bisa membuatnya tidak mampu mengontrol emosi dan keinginan mengelurakan emosi negatifnya sangat tinggi. Tidak terpenuhinya keinginan akan makanan tertentu yang dia sukai atau rasa sakit yang tak kunjung hilang bisa membuatnya meledak-ledak karena daya tahannya menurun, sehingga stres dengan mudah menyerangnya. Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu juga bisa membuat kita stres karena kita sulit menyesuaikan diri. Anak-anak pun demikian, sehingga hal ini berpengaruh terhadap semangat dan kemauannya. Banyak pula anak-anak yang mengalami stres di keramaian orang, dengan suasana keributan dan gaduh.
  1. Faktor eksternal
a)      Orang tua dan keluarga
Hubungan kedua orang tua yang tidak harmonis, konflik rumah tangga, pertengkaran, perceraian dan perubahan komposisi dalamkeluarga bisa membuat anak-anak stres. Selain itu, adanya tuntutan orang tua terhadap anak untuk selalu menjadi yang terbaik atau berprestasi akademik bagus bisa membuatnya tertekan. Serta  sikap orang tua yang suka melakukan labelling (seperti anak bodoh, anak nakal,dll.) atau membanding-bandingkan antaranggota keluarga.

b)      Sekolah
Tugas sekolah atau pekerjaan rumah (PR) yang bertubi-tubi dan bertumpuk, bisa membuat anak kewalahan, lelah dan stres. Di samping itu, suasanabelajar yang tidak nyaman dan metode pembelajaran yang kurang efektif (kurang menyentuh aspek emosional/afektifnya) bisa membuat anak sulit mengikuti dan menyesuaikan kemampuannya, sehingga lama-lama anak menjadi malas, jenuh dan stres menghadapi pelajaran di sekolah.

c)      Lingkungan
Pertengkaran yang berlanjut menjadi sebuah permusuhan hingga terjadi kekerasan sesama teman(bulliying) bisa membuatnya takut bermain di luar rumah dan enggan berteman. Tayangan atau tontonan yang tidak mendidik, menonjolkan kekerasan juga merupakan faktor yang perlu. Selain itu, kehilangan sesuatu yang berharga pun misalnya mainan atau hewan kesayangan, serta kehidupan sehari-hari yang cepat berubah dan tidak teratur (dengan baik) bisa menyebabkan stres.
Secara umum, faktor penyebab stres meliputi:
a)      Ancaman
Persepsi tentang adanya ancaman  membuat seseorang  merasa stres, baik ancaman fisik, sosial, finansial, maupun ancaman lainnya. Keadaan akan menjadi buruk bila orang yang mempersepsikan tentang adanya ancaman ini merasa bahwa dirinya tidak dapat melakukan tindakan apa pun yang akan bisa mengurangi ancaman tersebut.
b)      Ketakutan
Ancaman bisa menimbulkan ketakutan. Ketakutan membuat orang membayangkan akan terjadinya akibat yang tidak menyenangkan, dan hal ini membuat orang menjadi stres.
c)      Ketidakpastian
Saat kita merasa tidak yakin tentang sesuatu, maka kita akan sulit membuat prediksi. Akibatnya kita merasa tidak akan dapat mengendalikan situasi. Perasaan tidak mampu mengendalikan situasi akan menimbulkan ketakutan. Rasa takut menyebabkan kita merasa stres.
d)     Disonansi kognitif
Bila ada kesenjangan antara apa yang kita lakukan dengan apa yang kita pikirkan, maka dikatakan bahwa kita mengalami disonansi kognitif, dan hal ini akan dirasakan sebagai stres. Sebagai contoh, bila kita merasa bahwa kita adalah orang yang baik, namun ternyata menyakiti hati orang lain, maka kita akan mengalami disonansi dan merasa stres. Disonansi kognitif juga terjadi bila kita tidak dapat menjaga komitmen. Kita yakin bahwa diri kita jujur dan tepat janji, namun adakalanya situasi atau lingkungan tidak mendukung kita untuk jujur atau tepat janji. Hal ini akan membuat kita merasa stres karena kita terancam dengan sebutan tidak jujur atau tidak mampu menepati janji.

  1. Stress Membuat Memori Otak Melemah
Hati-hati dalam menghadapi masalah. Terlalu banyak pikiran dan stress dapat berbahaya bagi kualitas kinerja otak. Sebuah penelitian dari State University of New York membuktikan, stress memicu kerusakan di bagian otak yang disebut prefrontal cortex. Area ini dijuluki sebagai bosnya otak, karena memimpin nyaris seluruh fungsi otak, termasuk mengatur pemikiran abstrak dan analisis kognitif.
Prefrontal cortex juga bertugas menentukan respon dalam menghadapi sesuatu. Jika otak terus-menerus diterjang stress, area prefrontal cortex akan melemah, begitu pula dengan memori otak. Kualitas memori otak menurun karena adanya campur tangan sinyal glutamate yang amat penting dalam menjaga agar kinerja prefrontal cortex tetap stabil. Seperti dimuat dalam jurnal Neuron, saat otak mengalami stress, penerimaan sinyal glutamate pun akan melemah dan menghasilkan proses negatif dalam kinerja otak. Hasil penelitian ini didukung riset serupa di tahun 2008. Dalam Journal of Neuroscience disebutkan, stress yang hanya berlangsung dalam waktu singkat dapat menyulut adanya miskomunikasi antar komponen otak.
            Gangguan tersebut berkaitan dengan kualitas memori dan proses pembelajaran dalam otak. Saat cortisol –hormon penyebab stress- berada dalam level tinggi, otak mulai kesulitan dalam mengingat sesuatu dan mengambil tindakan. “Hormon memang berpengaruh terhadap kinerja memori, tapi riset ini juga menunjukkan bahwa reseptor yang mengalami gangguan dapat mengubah otak yang semula bekerja dengan baik menjadi lemah seperti pada orang-orang lanjut usia,” papar ilmuwan Dr. Joyce Yau seperti dilansir Huffington Post.






Daftar Pustaka
Etty, Maria. 2004. Mengelola Emosi. Grasindo: Jakarta.
Mulyadi, Seto. 2004. Membantu Anak Balita Mengelola Amarahnya. Grasindo: Jakarta.
Supratiknya, A. 1995 Mengenal Perilaku Abnormal . interfidei: Yogyakarta
Weeks, Claire. 1991. Mengatasi Stres. Kanisius: Yogyakarta.
Yurisaldi, Arman . 2010. Metode aktivasi otak. Pustaka Widiyatama: Jakarta.

Dikutip dari:


http://lalaaliya.blogspot.com/2011/10/makalah-mengenal-stres-serta.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar