Selasa, 11 Juni 2013

TEORI PERKEMBANGAN BAHASA PART II



A.    TEORI KOGNITIF
Kajian tentang teori kognitif bertitik tolak pada pendapat bahwa anak dilahirkan dengan kecenderungan untuk berperan aktif terhadap lingkungannya, dalam memproses suatu informasi, dan dalam menyimpulkan tentang struktur bahasa.
Menurut Piaget (Hergenhahn, 1982), berpikir sebagai prasyarat berbahasa, terus berkembang sebagai hasil dari pengalaman dan penalaran. Perkembangan bahasa bersifat progresif dan terjadi pada setiap tahap perkembangan. Perkembangan anak secara umum dan perkembangan bahasa awal anak berkaitan erat dengan berbagai kegiatan anak, objek, dan kejadian yang mereka alami dengan menyentuh, mendengar, melihat, merasa, dan membau.
Vygotsky (1986) mengemukakan bahwa perkembangan kognitif dan bahasa anak berkaitan erat dengan kebudayaan dan masyarakat tempat anak dibesarkan. Vygotsky menggunakan istilah Zona perkembangan proximal (ZPD) untuk tugas-tugas yang sulit untuk dipahami sendiri oleh anak, namun dengan bimbingan dan bantuan dari orang dewasa, anak akan memiliki keterampilan untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut. Menurut vygotsky, ZPD memiliki dua batas yaitu batas yang lebih rendah dan batasa yang lebih tinggi. Batas yang lebih rendah merupakan tingkat masalah yang dapat dipecahkan anak dengan menggunakan keterampilannya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Batas yang lebih tinggi merupakan tingkat tanggung jawab ekstra yang dapat diterima anak dengan bantuan orang dewasa. ZPD dikonseptualisasi sebagai suatu ukuran potensi pembelajaran (santrock, 1995) seperti halnya Intellectual Quotient (IQ). Perbedaannya adalah, ZPD memandang pembelajaran sebagai suatu proses sosial yang bersifat internal dan dinamis yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh anak. Berbeda halnya dengan IQ yang menekankan bahwa inteligensi adalah milik anak.
Vygotsky memiliki pandangan yang berbeda dengan piaget dalam beberapa hal. Vygotsky mengatakan bahwa bentuk  bahasa pada dasarnya bersifat sosial, sedangkan piaget memiliki kecenderungan pendapat bahwa perkembangan bahasa pada anak bersifat egosentris dan nonsosial.
Para ahli kognitif meyakini adanya peran hubungan antara anak, orang dewasa dan lingkungan bahasa anak. Teori kognitif memandang bahwa perkembangan aspek bahasa tidak terlepas dari konteks sosial dan perkembangan kognitif anak. Perkembangan kognitif  berhubungan erat dengan perkembangan bahasa karena awal perkembangan bahasa berada pada stadium sensori motorik yaitu ketika anak berusia sekitar 18 bulan. Pada tahap ini anak sudah memiliki pemahaman terhadap obyek-obyek tertentu. Walaupun anak belum memiliki kemampuan untuk berbicara, ia sudah dapat memanipulasi obyek-obyek tersebut.
Anak mengkomunikasikan kebutuhan, pikiran, dan perasaannya melalui bahasa dengan kata-kata yang bermakna unik. Kemampuan anak memahami bahasa sebagian besar terbatas pada pandangannya sendiri. Dengan kata lain,  anak memiliki keterbatasan dalam memahami bahasa dari sudut pandang orang lain. Meningkatnya perkembangan bahasa anak terjadi sebagai hasil perkembangan fungsi simbolis. Perkembangan simbol bahasa pada anak sangat berpengaruh terhadap kemampuan anak untuk belajar memahami bahasa dari pandangan orang lain dan meningkatkan kemampuannya untuk memecahkan persoalan.
Perkembangan bahasa tidak terlepas dari konteks sosial dan perkembanmgan kognitif anak. Perkembangan kognitif berhubungan erat dengan perkembangan bahasa karena awal perkembangan bahasa berada pada stadium sensori motorik yaitu ketika anak berusia sekitar 18 bulan. Pada tahap ini anak sudah memiliki pemahaman terhadap obyek-obyek tertentu.

Para ahli kognitif berpendapat bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti peran aktif anak terhadap lingkungan, cara anak memproses suatu informasi, dan menyimpulkan struktur bahasa.
Menurut Piaget (Hergenhahn, 1982), berpikir sebagai prasyarat berbahasa, terus berkembang secara progresif dan terjadi pada setiap tahap perkembangan sebagai hasil dari pengalaman dan penalaran. Perkembangan anak secara umum dan perkembangan bahasa awal anak berkaitan erat dengan berbagai  kegiatan anak , objek, dan kejadian yang mereka alami dan menyentuh, mendengar, melihat, merasa, dan membau.
Vygotsky (1986), mengemukakan bahwa perkembangan kognitif dan bahasa anak berkaitan erat dengan kebudayaan dan masyarakat tempat anak dibesarkan. Vygotsky menggunakan istilah zona perkembangan proximal (ZPD) untuk tugas-tugas yang sulit untuk dipahami sendiri oleh anak. ZPD juga memiliki batas yang lebih rendah merupakan tingkat masalah yang dipecahkan anak dan batas yang lebih tinggi merupakan tingkat tanggung jawab ekstra yang dapatditerima anak dengan bantuan orang dewasa.
Teori kognitif dikritik berkenaan dengan pandangan bahwa bahasa memiliki pengaruh yang kecil terhadap perkembangan kognisi . pendapat ini bertentangan dengan penelitian yang membuktikan bahwa pengetahuan baru dapat diperoleh seseorang melalui berbicara dan menulis.

Teori perkembangan kognitif yang dipelopori oleh Piaget mempunyai pandangan bahwa anak dilahirkan dengan kecenderungan menjadi baik. Teori Jean Piaget sangat perhatian sekali terhadap perkembangan kognitif atau intelektual. Piaget mengusulkan bahwa kesuksesan perkembangan kognitif mengikuti proses yang urut meliputi empat fase. Pada masing-masing fase perkembangan, seseorang menggunakan tiga metode primer, yaitu asimilasi, akomodasi dan adaptasi.
Asimilasi yaitu keseluruhan proses yang di jalani seseorang dalam menerima dan bereaksi terhadap situasi baru dengan menggunakan mekanisme yang sudah siap dan sudah mereka miliki.
Akomodasi yaitu proses berubah melalui proses pematangan kognitif, sehingga ia mampu memecahkan masalah yang mana sebelumnya ia tidak mampu memecahkan masalah tersebut.
Adaptasi adalah kemampuan untuk mengatasi tuntutan dari lingkungan.
Perkembangan kognitif yang sedang menuju kepada kedewasaan menyebabkan mereka mapu berpikir kritis dan berani mengevaluasi diri. Kemampuan daya pikir yang semakin membaik membuat mereka mampu menggunakan alternatif dan mengantisipasi berbagai kemungkinan konsekuensi atas keputusan mereka.
B.     TEORI PRAGMATIK
Para penganut teori pragmatik berpandangan bahwa anak belajar bahasa dalam rangka sosialisasi dan mengarahkan perilaku orang lain agar sesuai dengan keinginanya. Teori ini berasumsi bahwa anak selain belajar bentuk dan arti bahasa, juga termotivasi oleh fungsi bahasa yang bermanfaat bagi mereka. Dengan demikian anak belajar bahasa disebabkan oleh berbagai tujuan dan fungsi bahasa yang dapat mereka peroleh.
Halliday (dalam Bromley, 1995), menganalisa cara anak mengembangkan bahasa awal melalui interaksi dengan orang lain sebagai berikut.
1.      Bahasa Instrmental  (Instrumental Language),contoh: saya ingin....
2.      Bahasa dogmatis (Regulatory Language),contoh: berikan pada saya....
3.      Bahasa Interaksi (Interactional Language),contoh: ajaklah saya....
4.      Bahasa Personal (Personal Language), contoh: saya senang ini....
5.      Bahasa heuristic (Heuristic Language),contoh: mengapa? Bagaimana?
6.      Bahasa imajinatif (Imajinative Language), contoh:  seandainya saya....
7.      Bahasa Informatif (Informative Language), contoh: ada hal yang ingin saya sampaikan....
Ketika saya menginginkan sesuatu dengan mengatakan ‘minum’ dan memegang gelasnya yang kosong, anak tersebut menyadari bahwa bahasa dapat digunakan untuk meminta dan menerima sesuatu.

Para penganut teori pragmatik mempelajari tentang berbagai kegiatan berbahasa, yang mencakup konteks kalimat dan kecenderungan pembicara,namun tidak dapat memberi penjelasan tentang cara anak belajar sintaksis.
Aliran filsafat ini disebut juga instrumentalisme atau eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme karena memandang bahwa tujuan indonesia bukanlah terminal, akan tetapi alat atau unstrumen untuk mencapai tujuan berikutnya. Dan dikatakan eksperimental karena untuk membuktikan kebenaran digunakan metode eksperimen.
Tokoh aliran ini antara lain adalah John Dewey dan Williams James. Pragmatisme adalah salah satu aliran filsafat yang anti metafisika. Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. Dewey dalam bukunya, Democracy and Education, menekankan pentingnya pendidikan karena berdasarkan tiga pokok pemikiran, yaitu (1) pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup, (2) pendidikan sebagai pertumbuhan, dan (3) pendidikan sebagai fungsi sosial.
Oleh karena itu, dalam hal ini pendidikan harus mampu memfasilitasi anak dalam melakukan proses sosialisasi sehingga dapat menjadi warga masyarakat yang diharapkan.
Beberapa pandangan Dewey tentang pendidikan dapat dirangkum sebagai berikut :
1.      Insting dan potensi-potensi anak menjadi titik tolak untuk semua pendidikan.
2.      Pendidikan adalah proses hidup itu sendiri dan bukan persiapan untuk hidup.
3.      Sebagai lembaga sosial, sekolah harus menyajikan kehidupan nyata dan penting bagi anak sebagaimana terdapat di dalam rumah, di lingkungan sekitar, atau di lingkungan masyarakat luas.
Peranan pendidik menurut pragmatisme bukanlah sebai instruktur yang mendominasi kegiatan pembelajaran, akan tetapi sebagai fasilitator. Secara rinci peranan pendidik menurut pragmatisme adalah sebagai berikut :
1.      Pendidik tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minatdan kebutuhan peserta didik.
2.      Pendidik hendaknya menciptakan suatu situasi, sehingga anak merasakan adanya suatu masalah yang ia hadapi, sehingga timbul minat untuk memecahkan masalah tersebut.
3.      Untuk membangkitkan minat anak, hendaknya guru mengenal kemampuan serta minat masing-masing atau peserta didik.

C.    TEORI INTERAKSIONIS
Kajian tentang teori interaksionis bertitik tolak dari pandangan bahwa bahasa merupakan perpaduan faktor genetik dan lingkungan. Kemampuan kognitif dan berbahasa diasumsikan terjadi secara bersamaan. Seorang anak dilahirkan dengan kemampuan untuk mempelajari dan mengemukakan bahasa, dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya yang mencakup imitasi, reinforcement, reward, dan peran sosial. Para ahli interaksionis menjelaskan bahwa berbagai faktor seperti sosial, linguistik, kematangan, biologis, dan kognitif, saling mempengaruhi, berinteraksi, dan memodifikasi satu sama lain sehingga berpengaruh terhadap perkembangan bahasa individu.
Pemahaman kita terhadap cara berpikir manusia dan memproses informasi menambah wawasan kita terhadap kemampuan berbahasa seseorang. Pandangan teori yang bersifat menyeluruh ini sepertinya dapat menjelaskan tentang perkembangan kemampuan berbahasa anak.
Teori Interaksionalisme simbolik (symbolic interactionism) adalah pendekatan teoritis dalam memahami hubungan antara manusia dan masyarakat. Ide dasar teori interaksionisme simbolik adalah bahwa tindakan dan interaksi manusia hanya dapat dipahami melalui pertukaran symbol atau komunikasi yang sarat makna.

Teori interaksionisme simbolik mulai berkembang pada pertengahan abad ke-20. interaksionisme simbolik berakar dari dua kata yang bermakna berbeda, yaitu interaksi dan simbol. Simbolik mengandung pengertian pada makna yang terdapat pada situasi sosial tertentu di mana pelaku berada di dalamnya, sedangkan interaksionis mengandung arti makna tersebut dibentuk oleh interaksi di antara pelaku.

Gagasan mengenai teori tersebut muncul dari George Herbert Mead (1863-1931) seorang filsuf Universitas Chicago dan tokoh psikologi sosial. Setelah Mead meninggal, Herbert Blumer, yang juga merupakan salah satu sosiolog di Universitas Chicago, mengambil alih seluruh karyanya serta membenahi teori sosialnya dan menamai gagasan Mead tersebut: interaksionisme simbolik. Blumer sendiri juga terpengaruh oleh pemikiran Herbert Mead tentang interaksionisme simbolik. Karya Blumer yang terkenal dalam perspektif teori ini adalah kumpulan esainya yang berjudul Symbolic Interactionism: Perspective and Method.

Tiga prinsip utama interaksionisme simbolik menurut Blumer adalah:
1.       Manusia bertindak melalui hal-hal pada makna yang ada di dalamnya.
2.      Makna-makna tersebut muncul dari interaksi sosial.
3.      Tindakan sosial merupakan hasil dari tindakan-tindakan individu.
Teori interaksionisme simbolik beranggapan bahwa masyarakat (manusia) adalah produk sosial. Teori ini mempunyai metodologi yang khusus, karena interaksionisme simbolik melihat makna sebagai bagian fundamental dalam interaksi masyarakat. Dalam penelitian mengenai interaksi dalam masyarakat tersebut, teori interaksionisme simbolik cenderung menggunakan metode kualitatif dibanding metode kuantitatif.













BAB III
KESIMPULAN

Teori kognitif bertitik tolak pada pendapat bahwa anak dilahirkan dengan kecenderungan untuk berperan aktif terhadap lingkungannya, dalam memproses suatu informasi, dan dalam menyimpulkan tentang struktur bahasa.
Teori pragmatik berpandangan bahwa anak belajar bahasa dalam rangka sosialisasi dan mengarahkan perilaku orang lain agar sesuai dengan keinginanya. Teori ini berasumsi bahwa anak selain belajar bentuk dan arti bahasa, juga termotivasi oleh fungsi bahasa yang bermanfaat bagi mereka. Dengan demikian anak belajar bahasa disebabkan oleh berbagai tujuan dan fungsi bahasa yang dapat mereka peroleh
Teori interaksionalisme simbolik (symbolic interactionism) adalah pendekatan teoritis dalam memahami hubungan antara manusia dan masyarakat. Ide dasar teori interaksionisme simbolik adalah bahwa tindakan dan interaksi manusia hanya dapat dipahami melalui pertukaran symbol atau komunikasi yang sarat makna.







DAFTAR PUSTAKA
Dhieni, Nurbiana, dkk. Metode Pengembangan Bahasa.: Penerbit Universitas Terbuka
Sujiono, Yuliani Nurani. 2009. Konsep Dasar Anak Usia Dini.  Jakarta : PT INDEKS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar