TEORI
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
TUGAS
MANDIRI
Oleh
Meli
Novikasari
F54011035
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU - PENDIDIKAN ANAK USIA
DINI
JURUSAN ILMU
PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS TANJUNG
PURA
PONTIANAK
2013
1.
Pengertian
Belajar
A. Skinner ( 1985 )
Skinner memberikan definisi
belajar adalah “Learning is a process of progressive behavior adaption”.
Yaitu bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat
progresif.
B.
Mc. Beach ( Lih
Bugelski 1956 )
Memberikan
definisi mengenai belajar. “Learning is a change performance as a result of
practice”. Ini berarti bahwa belajar membawa perubahan dalam performance,
dan perubahan itu sebagai akibat dari latihan ( practice ).
C.
Morgan, dkk ( 1984 )
Memberikan definisi
mengenai belajar “Learning can be defined as any relatively permanent
change in behavior which accurs as a result of practice or experience.”
Yaitu bahwa perubahan perilaku itu sebagai akibat belajar karena latihan (practice)
atau karena pengalaman ( experience ).
D. Menurut Slameto (2003:2)
Belajar yaitu suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.
E. Purwanto, dalam Panen (1999:84)
Mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang
relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagai suatu hasil dari
latihan atau pengalaman.
2.
Pengertian
Pembelajaran
A. Gagne dan Briggs (1979:3)
Mengemukakan bahwa instruction atau
pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses
belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun
sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar
siswa yang bersifat internal.
B.
Dick
and Carey (1985)
Pembelajaran adalah
anak didik belajar menguasai dan langkah-langkah prosedural bawaan yang ada
harus diikuti anak didik untuk dapat belajar tertentu (sub ordinate skills).
C. Sugandi, dkk (2004:9)
menyatakan bahwa pembelajaran terjemahan dari kata
“instruction” yang berarti self instruction (dari internal) dan eksternal
instructions (dari eksternal).
D. Atwi Suparman (1979)
Mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan interaksi antara peserta didik
dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih
baik.
E. Prof. Dr. Wina Sanjaya, M.Pd
(2003:71)
Pembelajaran adalah
yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan, siswa mempelajari segala
sesuatu lewat berbagai macam media sehingga mendorong terjadinya perubahan
peranan guru dalam mengelola proses belajar dan mengajar dan guru sebagai
fasilitator dalam mengajar.
3.
Teori
Belajar Kognitif
Bagi
para penganut teori kognitif, belajar bukan hanya sekadar inteaksi antara
stimulus dan respons melainkan melibatkan juga aspek psikologis lain (mental,
emosi, persepsi) yang menyebabkan orang memberikan respons terhadap sebuah
stimulus belajar. Dalam perspektif ini,
stimulus bukanlah variabel tunggal yang menyebabkan terjadinya respons melaikan
terdapat variabel moderator tertentu yang turut mempengaruhi kemunculan suatu
respons. Variabel moderator inilah yang disebut sebagai faktor intenal seperti
emosi, mental, persepsi, motivasi dan sebagainya.
Pada
awalnya, para penganut teori kognitif membangun agumentasinya bahwa antara
stimulus dan respons terdapat dimensi psikologis yang menyebabkan terjadinya
perubahan mental dan akibat dari perbuhan inilah menyebabkan orang merespons
suatu stimulus yang diberikan.Mengacu pada kerangka berpikir tersebut para
penganjur teori kognitif berpendapat bahwa belajar merupakan proses pembentukan dan perubahan persepsi akibat
interaksi yang sustainable antara individu dengan lingkungan.
Berkaitan
dengan belajar, Piaget membangun teorinya berdasarkan pada konsep Skema yaitu,
stuktur mental atau kognitif yang menyebabkan seseorang secara intelektual
beradaptasi dan mengoordinasikan lingkungan sekitarnya (Suparno, 1997).
Skema pada
prinsipnya tidak statis melainkan selalu mengalami perkembangan sejalan dengan
perkembangan kognitif manusia. Berdasarkan asumsi itulah, Piaget berpendapat
bahwa belajar merupakan proses
menyesuaikan pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dipunyai
seseorang. Bagi Piaget, proses belajar berlangsung dalam tiga tahapan
yakni: ASIMILASI, AKOMODASI dan EQUILIBRASI.
1)
ASIMILASI
adalah proses penyesuaian persepsi, konsep, pengalaman dan pengetahuan baru
kedalam skema yang telah dimiliki seseorang.
2)
AKOMODASI
yaitu, perubahan schemata ke dalam situasi yang baru. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara: (1) membentuk skema baru yang cocok dengan pengetahuan yang baru
diperoleh, atau (2) memodifikasi skema yang telah ada agar cocok dengan pengetahuan
yang baru diperoleh.
3)
EQUILIBRASI yaitu, proses
penyeimbangan berkelanjutan antara asimilasi dan akomodasi.
Menurut
Paiget, belajar adalah proses perubahan secara kualitatif dalam struktur
kognitif. Perubahan dimaksud terjadi, manakala informasi atau pengetahuan baru
yang diterima sesorang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bersesuaian
(diasimilasikan) dengan struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya.
Kompleksitas
pengetahuan dan struktur kognitif tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya
asimiliasi secara mulus. Dalam kasus tertentu asimilasi mungkin saja tidak
terjadi karena informasi baru yang diperoleh tidak bersesuaian dengan stuktur
kognitif yang sudah ada. Dalam konteks seperti ini struktur kongitif perlu
disesuaiakan dengan pengetahuan baru yang diterima. Proses semacam ini disebut
akomodasi. Penekanan Piaget tentang betapa pentingnya fungsi kognitif dalam
belajar didasarkan pada tahap perkembangan kognitif manusia yang dikategorikan
dalam suatu struktur hirarkhis terdiri dari enam jenjang, mulai dari tahap
sensori-motorik sampai tahap berpikir universal.
Menurut
Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang
teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur
tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap
sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap Sensori motor (0 sampai kurang lebih 2 tahun)
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun
hingga 7 tahun)
c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11
tahun)
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun
sampai 15 tahun)
4.
Teori
Belajar Behavioristik
Menurut teori
behaviorisme, belajar dipandang sebagai
perubahan tingkah laku, dimana perubahan tersebut muncul sebagai respons
terhadap berbagai stimulus yang datang dari luar diri subyek. Secara
teoritik, belajar dalam konteks behaviorisme melibatkan empat unsur pokok
yaitu: drive, stimulus, response dan
reinforcement.
1)
DRIVE yaitu suatu mekanisme psikologis yang mendorong seseorang untuk
memenuhi kebutuhannya melalui aktivitas belajar.
2)
STIMULUS yaitu ransangan dari luar diri subyek yang
dapat menyebabkan terjadinya respons.
3)
RESPONSE adalah tanggapan atau reaksi terhadap
rangsangan atau stimulus yang diberikan. Dalam perspektif behaviorisme, respons
biasanya muncul dalam bentuk perilaku yang kelihatan.
4)
REINFORCEMENT adalah penguatan yang diberikan kepada
subyek belajar agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respons
secara berkelanjutan.
Ada dua tokoh terkenal
dalam behaviorisme yang mempelopori teori ini dan mempunyai perbedaan dalam
menjelaskan proses terjadinya belajar.
A. Teori Classical Conditioning
Ivan Pavlov
Pavlov berbicara
tentang stimulus yang dipersyaratkan (conditioning reflex) untuk memberikan
respons yang dihapkan oleh lingkungan sesuai dengan tuntutan lingkungan
(refleks yang dikondisikan) selanjutnya disebut dengan classical conditionting.
B. Teori Operant Conditioning
Skiner
Skeiner beranggapan bahwa perilaku manusia yang
dapat diamati secara langsung adalah akibat konsekuensi dari perbuatan
sebelumnya. Kalau konsekuensinya menyenangkan, maka hal tersebut akan
diulanginya lagi. Konsekuensi-konsekuensi tersebut adalah kekuatan pengulang
(reinforcement) untuk berbuat sekali lagi.
Hal penting yang
dapat dipelajari dari teori belajar Skiner yaitu (1) prosers belajar hendaknya
dirancang untuk jangka waktu yang pendek beradasarkan tingkah laku yang
dipelajari sebelumnya; (2) pada awal proses belajar perlu ada reinforcement
serta kontrol terhadap reinforcement yang diberikan; (3) reinforcement perlu
segera diberikan begitu terlihat adanya respons belajar yang benar; (4) subyek
belajar perlu diberi kesempatan untuk melakukan generalisasi, dan diskriminasi
stimuli sebab hal ini akan memperbesar kemungkinan keberhasilan.
5.
Teori
Konstruktivistik
Menurut teori ini pembentukan
pengetahuan terjadi sebagai hasil konstruksi manusia atas realitas yang
dihadapinya. Dalam perkembangan kemudian, teori ini mendapat pengaruh dari
disiplin psikologi terutama psikologi kognitif Piaget yang berhubungan dengan
mekanisme psikologis yang mendorong terbentuknya pengetahuan. Menurut kaum
konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengkostruksi pengetahuan.
Proses tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1)
Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka
lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna ini dipengaruhi oleh pengertian
yang telah ia punyai;
2)
Konstruksi makna merupakan suatu proses yang berlangsung terus-menerus seumur
hidup;
3)
Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih berorientasi pada
pengembangan berpikir dan pemikiran dengan cara membentuk pengertian yang baru.
Belajar bukanlah hasil dari perkembangan melainkan perkembangan itu sendiri.
Suatu perkembangan yang menuntun penemuan dan pengaturan kembali pemikiran
seseorang;
4)
Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skemata seseorang dalam
keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi disekuilibrium
merupakan situasi yang baik untuk belajar;
5)
Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan
siswa;
6)
Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah diketahuinya.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanis untuk mengumpulkan fakta.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanis untuk mengumpulkan fakta.
Dalam konteks yang demikian, belajar
yang bermakna terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian dan selalu
terjadi pembaharuan terhadap pengertian yang tidak lengkap. Berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut dapat ditarik sebuah inferensi bahwa menurut teori
konstruktivisme belajar adalah proses
mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengabstraksi pengalaman sebagai hasil
interaksi antara siswa dengan realitas baik realitas pribadi, alam, maupun
realitas sosial. Proses konstruksi pengetahuan berlangsung secara pribadi
maupun sosial. Proses ini adalah proses yang aktif dan dinamis. Beberapa faktor
seperti pengalaman, pengetahuan awal, kemampuan kognitif dan lingkungan sangat berpengaruh
dalam proses konstruksi makna.
6.
Teori
Humanistik
Istilah
“humanisme” adalah temuan dari abad ke-19. Dalam bahasa Jerman. Humanismus
pertama kali diciptakan pada tahun 1808, untuk merujuk pada suatu bentuk
pendidikan yang memberikan tempat utama bagi karya-karya klasik Yunani dan
Latin. Dalam bahasa Inggris “humanism” mulai muncul agak kemudian. Pemunculan
yang pertama dicatat berasal dari tulisan Samuel Coleridge Taylor (1812), di
mana kata itu dipergunakan untuk menunjukkan suatu posisi Kristologis, yaitu
kepercayaan bahwa Yesus Kristus adalah murni manusia. Kata itu pertama kali
dipakai dalam konteks kebudayaan pada tahun 1832 (Alister E. Mcgrath 2006, hlm.
53).
Menurut Sri Esti. W Djiwandon (2002, hlm. 181), ahli-ahli teori humanistik menunjukkan bahwa:
1)
tingkah laku individu pada mulanya
ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya sendiri dan dunia
sekitarnya, dan
2)
individu bukanlah satu-satunya hasil
dari lingkungan mereka seperti yang dikatakan oleh teori ahli tingkah laku,
melainkan langsung dari dalam (internal), bebas memilih, dimotivasi oleh
keinginan untuk aktualisasi diri (self aktualization) atau memenuhi potensi
keunikan mereka sebagai masusia.
Humanisme lebih melihat pada sisi
perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu
bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif.
Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para
pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan
kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan
pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, emosi adalah
karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran
humanisme.
Dari perspektif humanistik, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang (affektive) siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi dan moral.
Dari perspektif humanistik, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang (affektive) siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi dan moral.
7.
Pentingnya
Pendidikan Anak Usia Dini
A.
Profesor
Sandralyn Byrnes, Australia's & International Teacher of the Year
Pendidikan anak usia dini atau PAUD
yang baik dan tepat dibutuhkan anak untuk menghadapi masa depan, begitulah
pesan yang disampaikan Profesor Sandralyn Byrnes, Australia's &
International Teacher of the Year saat seminar kecil di acara Giggle Playgroup
Day 2011, gelaran Miniapolis & Giggle Management.
PAUD akan
memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat
adalah menghadapi masa sekolah. "Saat ini, beberapa taman kanak-kanak
sudah meminta anak murid yang mau mendaftar di sana sudah bisa membaca dan
berhitung. Di masa TK pun sudah mulai diajarkan kemampuan bersosialisasi dan
problem solving. Karena kemampuan-kemampuan itu sudah bisa dibentuk sejak usia
dini," jelas Byrnes. Tentunya di usia dini, mereka akan belajar
pondasi-pondasinya. Mereka diajarkan dengan cara yang mereka ketahui, yakni
lewat bermain. Tetapi bukan sekadar bermain, tetapi bermain yang diarahkan.
Lewat bermain yang diarahkan, mereka bisa belajar banyak; cara bersosialisasi,
problem solving, negosiasi, manajemen waktu, resolusi konflik, berada dalam
grup besar/kecil, kewajiban sosial, serta 1-3 bahasa.
"Karena lewat bermain, anak tidak merasa dipaksa untuk belajar. Saat bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam. "Tentunya cara bermain pun tidak bisa asal, harus yang diarahkan dan ini butuh tenaga yang memiliki kemampuan dan cara mengajarkan yang tepat. Kelas harusnya berisi kesenangan, antusiasme, dan rasa penasaran. Bukan menjadi ajang tarik-ulur kekuatan antara murid-guru. Seharusnya terbangun sikap anak yang semangat untuk belajar,
"Karena lewat bermain, anak tidak merasa dipaksa untuk belajar. Saat bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam. "Tentunya cara bermain pun tidak bisa asal, harus yang diarahkan dan ini butuh tenaga yang memiliki kemampuan dan cara mengajarkan yang tepat. Kelas harusnya berisi kesenangan, antusiasme, dan rasa penasaran. Bukan menjadi ajang tarik-ulur kekuatan antara murid-guru. Seharusnya terbangun sikap anak yang semangat untuk belajar,
B.
Carnegie
Ask Force (1994)
Menyebutkan perlunya pendidikan
usia dini sebagai berikut:
1) Perkembangan
otak anak sebelum usia satu tahun lebih cepat dan ekstensif dari yang diketahui
sebelumnya. Walaupun pembentukkan sel otak telah lengkap sebelum anak lahir
tetapi kematangan otak terus berlangsung sesudah anak lahir.
2) Gizi
yang tidak layak pada masa ehamilan dan tahun pertama kelahiran secara serius
mempengaruhi perkembangan otak anak.
3) Pengaruh
lingungan awal pada perkembangan otak berdampak lama atau tahan lama. Pemberian
gizi yang baik, mainan dan teman bermain (stimulasi yang baik( berfungsi pada
perkembangan otak lebih baik daripada anak yang tidak mendapat stimulasi
lingkungan yang baik.
4) Stimulasi
lingkungan tidak saja menyebabkan penambahan jumlah sel otak dan penambahan
jumlah hubungan antar sel tersebut terjadi. Proses pemekayaan ini sangat besar
terjadi di usia dini.
5) Stress
pada usia dini dapat merusak secara permanen fungsi otak anak, cara belajarnya,
dan memorinya.
C.
Benjamin Bloom
Dalam
sebuah penelitian, Bloom mengatakan bahwa pengembangan intelektual seorang anak
sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar 50%, variabilitas
kecerdasan orang dewasa sudah terjadi sejak anak berumur 4 tahun, peningkatan
mutu 30% selanjutnya terjadi masa usia 4 – 8 tahun dan sisanya pada pertengahan
atau akhir dasawarsa kedua atau ketika usia 8 – 15 tahun. Bloom juga mengatakan
bahwa umur 0 – 4 tahun merupakan masa-masa penting pertama terhadap kaya miskinnya
lingkungan sekitar yang menstimulasi perkembangan intelektuak masnusia. Bahkan lebih jauh
ia menjelaskan bahwa ini berpengaruh pada perkembangan IQ dengan perbandingan
bahwa lingkungan dengan stimulasi yang kaya akan menambah 10 unit IQ dari pada
yang miskin ketika berumur 0 – 4 tahun., kemudian sekitar 6 unit IQ ketika
berumur 4 – 8 tahun.
Bloom
mengamati kecerdasan anak dalam rentang waktu tertentu. Ia menghasilkan
taksonomi Bloom. Kecerdasan anak pada usia 15 tahun merupakan hasil dari
pendidikan pada anak usia dini.
D.
Direktorat PAUD, (2004)
Sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar
dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak
Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan
pelaksanaan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan
terbaik anak Indonesia.
E.
Bronfer Brenner (1979) dalam
Patmonodewo (2003: 45)
Melalui
teori sistem ekologinya mampu menjelaskan perkembangan anak yang dihubungkan
pada interakasi anak dengan lingkungannya secara terus menerus dan saling
mempengaruhi satu sama lain secara transaksional.
Lingkungan
anak usia dini mengandung lingkungan ekologi yang berorientasi pada :
·
Lingkungan
fisik, yang terdiri dari objek, materi, dan ruang. Lingkungan fisik yang
berbeda akan mempengaruhi anak.
·
Lingkungan
yang bersifat aktivitas, terdiri atas kegiatan, bermain, kebiasaan sehari-hari,
dan upacara keagamaan.
·
Berbagai
orang yang ada di sekitar anak dapat dibedakan dalam usia, jenis kelamin,
pekerjaan, status kesehatan, dan tingkat pendidikan.
·
Sistem
nilai, sikap, dan norma. Ekologi anak akan lebih baik apabila anak diasuh dalam
lingkungan yang menanamkan disiplin yang konsisten.
·
Komunikasi
antar anak dan orang tua di sekelilingnya akan menentukan perkembangan social
anak.
·
Hubungan
yang hangat dan anak merasa kebutuhannya terpenuhi oleh lingkungannya akan
menghasilkan perkembangan kepribadian yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Semiawan, Conny,R. 2002. Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan
Sekolah Dasar. Jakarta: Indeks.
Lestari,
Sri. 2012. Pendalaman Materi Taman Kanak-Kanak/RA.
Pontianak: CV KAMI.
Sugandi,
Achmad, dkk. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang: UPT MKK
UNNES.
Pannen,
Paulina, dkk. 1999. Cakrawala Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Budiningsih, C,Asri. 2008. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Atherton J S (2005) Learning and
Teaching: SOLO Taxonomy [On-line] UK: Available:http://www.learningandteaching.info/learning/solo.htm Accessed: diakses tanggal 17 January 2009.
Dick W. And
Carrey L. 1985. The Systematic Design
Of Instruction. Second Edition.
Glenview, Illinois : Scott, Foreman and Company.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_anak_usia_dini
http://yanugilang.blogdetik.com/2011/04/16/dasar-dasar-dan-ruang-lingkup- pendidikan-anak-usia-dini-paud/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar