A. Pendidikan Taman Kanak-Kanak Berorientasi Akademik
Para penganut pendekatan pendidikan TK akademik memiliki prinsip bahwa belajar dengan lebih cepat berarti lebih baik. Jadi, kalau anak bisa menguasai materi pelajaran secara lebih awal dan lebih cepat dari yang lain, berarti anak itu telah belajar dengan lebih baik. Sesuai prinsip di atas, pendidikan TK berorientasi akademik terfokus pada upaya mengarahkan anak untuk bisa menguasai sejumlah materi pengetahuan, keterampilan, atau hafalan tertentu dengan singkat. Para pendidik yang menganut pendekatan ini berupaya mengembangkan cara-cara belajar cepat agar hasil belajar anak dapat segera diketahui. Greenberg (1990) memandang bahwa pendekatan pendidikan TK berorientasi akademik ini banyak dilandasi oleh paham behavioristik yang sangat menekankan unsur mastery dan testing. Penggunaan unsur reinforcement yang positif terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan tugas juga merupakan hal yang penting dalam pembentukan perilaku anak.
1. Model Kurikulum
Para penganut pendekatan ini berpendapat bahwa cara pembelajaran yang baik dilakukan melalui beberapa mata pelajaran terpisah yang disajikan dalam periode-periode pendek. Dengan demikian, anak dapat belajar lebih cepat sehingga bisa memenuhi keperluan-keperluan belajar lebih lanjut secara lebih awal. Ini berarti bahwa pendekatan ini meminimalkan arti pentingnya usia dan tahap perkembangan anak.
Bahan pembelajaran disusun secara berstruktur dan sistematis dari elemen-elemen kecil yang sederhana hingga elemen-elemen yang lebih besar dan lebih rumit. Ciri lain dari kurikulum pendekatan ini adalah penekanan pada keterampilan-keterampilan yang berupa penguasaan simbol-simbol yang mempresentasikan sesuatu (huruf atau angka) dan bukannya menguji dan mengeksplorasi hal tersebut secara langsung. Kurikulum atau program pembelajaran pada pendekatan akademik sudah disiapkan dengan matang “dari luar kelas”. Maksudnya dengan merujuk pada standar-standar program dan buku-buku teks yang dijadikan acuan, guru sudah menyiapkan program pembelajaran secara sistematis dan matang sebelum masuk kelas sehingga pada saat proses pembelajaran berlangsung ia kurang atau bahkan tidak mengakomodasi hal-hal yang secara kontekstual terjadi. Akibatnya variasi individual siswa (minat dan bakat) kurang begitu diperhatikan dan di akomodasi dalam kegiatan pembelajaran di kelas.
Greenberg (1990) menjelaskan bahwa dalam pendekatan ini juga mencakup kegiatan bermain, tetapi itu dilakukan secara singkat dan diposisikan sebagai kegiatan rekreasi pada waktu istirahat. Kegiatan-kegiatan proyek dan beberapa kegiatan seni juga dijadwalkan tetapi diberiak sebatas sebagai program “pengayaan” atau sebagai aktivitas sekunder, bukan sebagai kurikulum inti. Kurikulum inti merupakan suatu rangkaian pengetahuan dan keterampilan yang sudah dipilah-pilah yang disampaikan pada anak dalam langkah-langkah pelajaran yang sangat berstruktur.
2. Cara Pembelajaran
Model kurikulum yang berstruktur dan sistematis banyak dilakukan melalui “direct instruction”, dalam arti, guru mengajarkan materi-materi pengetahuan dan keterampilan yang sudah disiapkan dan murid memperhatikan penjelasan guru dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Akibatnya, murid hanya memiliki sedikit pilihan. Prakarsa-prakarsa murid yang sifatnya spontan hanya terjadi pada saat bermain bebas ketika istirahat. Sebaliknya, kepatuhan anak untuk mengikuti prosedur atau langkah-langkah pembelajaran yang sudah direncanakan oleh guru sangat dihargai.
Pola pembelajaran demikian membuat anak lebih banyak duduk mencurahkan perhatian kepada guru yang sedang “mengajar” atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh guru. Tugas-tugas yang diberikan anak sering berupa pekerjaan yang melibatkan penggunaan kertas, pensil. Aktivitas menghafal dan mengingat fakta juga begitu dominan dalam pendekatan ini. Dengan demikian anak kurang memiliki kesempatan belajar untuk melalaui percakapan informasi di kelas. Kesempatan anak untuk belajar menemukan juga sangat minim, yakni hanya menemukan jawaban-jawaban benar dari beberapa kemungkinan jawaban yang sudah disediakan.
Anak juga kurang mengalami tantangan intelektual karena latihan pemecahan masalah dilakukan terbatas pada masalah-masalah yang sudah distruktur dan disediakan dalam paket-paket lembaran kerja, seperti menghubungkan gambar dengan memecahkan untuk murid dengan cara menceritakan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh murid, dan bukannya anak yang diberi kesempatan untuk menguji dan menemukan alternatif-alternatif dari persoalan prilaku tersebut.
Guru lazimnya sangat sibuk mengejar target kurikulum atau program pembelajaran. Akibatnya, aktivitas bermain anak dan penggunaan metode proyek menjadi sangat minim. Kalaupun dilakukan, lebih sebagai “ganjaran” bagi anak yang sudah belajar dan itu dilakukan pada waktu istirahat; begitu juga kegiatan proyek dilakukan sebagai kegiatan pengayaan menjelang libur dan bukan sebagai kegiatan pembelajatan inti.
3. Peran Guru dan Anak
Dalam pendekatan akademik, peran guru sangat dominan. Guru adalah perencana kegiatan kelas tanpa melibatkan unsur murid. Ia adalah pengelola ruang, waktu, serta alat dan media pembelajaran sesuai dengan cara yang dikehendakinya. Ia merupakan sumber informasi serta penentu standar perilaku didalam kelas yang harus di turuti oleh anak. Singkatnya, guru adalah penguasa kelas yang cenderung menerapkan manajemen kelas yang otoriter ,anak berperan sebagai penerima pelajaran, mereka menjadi pihak penerima fakta yang kemudian menghafalkannya. Mereka tidak diarahkan untuk melakukan aktivitas pembuktian apakah fakta-fakta tersebut benar atau tidak. Kemudian mereka menjadi objek penilaian guru atas hasil karya atau perilaku yang mereka lakukan.
4. Cara Evaluasi
Evaluasi difokuskan pada prestasi anak dalam penyelesaian tugas-tugas akademik, karena sangat menekankan unsur penguasan pengetahuan, penggunaan tes menjadi sangat dominan. Evaluasi di lakukan oleh guru sehingga hampir tak ada peluang bagi anak untuk menilai kemajuan belajarnya sendiri. Anak secara pasif menunggu evaluasi dan penghargaan dari guru, dan mereka mendapatkan penguatan positif untuk keberhasilan penguasaan materi atau perilaku yang diajarkan oleh guru.
5. Keuntungan dan Kelemahan
Keuntungan dari pendidikan berorientasi akademik adalah agar anak dapat lebih cepat menghafal informasi atau fakta dan menguasai ketrampilan yang diajarkan. Dengan pendekatan ini guru lebih mudah dalam merancang dan mengelola kegiatan belajar mengajar karena tidak perlu bersusah payah mengikuti dan mengakomodasi variasi individu anak.
Adapun kelemahannya, pertama adalah kurangnya keterlibatan aktif anak dalam proses belajar. Kedua, pengembangan kreativitas anak juga menjadi kurang. Ketiga, proses dan hasil belajar kurang bermakna bagi anak. Keempat, proses belajar yang kurang bermakna ini dapat memunculkan sikap dan perilaku belajar yang negatif pada anak, anak menjadi bosan dan tidak bergairah dalam belajar. Mereka menganggap kalau belajar adalah beban dan tugas dari guru dan orang tua, bukannya sebagai bagian dari kebutuhan dan kegiatannya sehari-hari. Kelima, penekanan pada aspek akademik dari pendekatan ini membuat aspek-aspek perkembangan anak lainnya menjadi kurang perkembangan secara proporsional.
B. Pendidikan Taman Kanak-Kanak Berorientasi Non Akademik
Pendekatan non akademik berangkat dari pandangan bahwa anak pada dasarnya merupakan pembelajar aktif (an active learner). Anak mampu membangun pengetahuan dan pemahamannya tentang lingkungan melalui pengalaman-pengalaman interaksional. Pengetahuan dan pemahaman itu bukan merupakan sesuatu yang diberikan oleh orang lain kepada anak, melainkan merupakan sesuatu yang di konstruksi oleh anak. Jadi, berbeda dengan para penganut pendekatan akademik, para pendukung pendekatan non akademik tidak meyakini adanya suatu batang tubuh pengetahuan yang sudah permanen (fixed) yang harus dikuasai oleh anak. Pengetahuan itu justru merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak. Dalam kategori yang luas, menurut Greenberg (1990), dewasa ini pendekatan non akademik dikenal sebagai pendidikan yang berorientasi perkembangan (Developmentally Appropriate Practice). Bila ditelusuri lebih jauh, pendekatan ini banyak diilhami oleh pemikiran dari tokoh-tokoh seperi John Dewey, Arnold Gesell, Jean Piaget, dan Davil Elkind.
1. Model Kurikulum
Kurikulum pendidikan TK non akademik adalah kurikulum terintegrasi. Melalui kurikulum terintegrasi, subjek-subjek bidang pengetahuan dan keterangan tidak dipelajari secara terpisah-pisah, melainkan dipelajari sebagai suatu kesatuan yang terpandu secara informal dalam kegiatan-kegiatan belajar anak.
Anak memiliki kesempatan untuk berprakarsa dan melakukan pilihan sehingga apa yang dikaji dalam kegiatan pembelajaran sudah merepresentasikan minat-minat dan pilihan-pilihan anak tersebut. Secara singkat, modul kurikulum dalam pendekatan non akademik berpegang pada prinsip-prinsip berikut.
a. Memungkinkan anak untuk belajar tentang lingkungan melalui eksplorasi dan interaksi baik dengan guru, teman, anggota keluarga, maupun dengan orang lain.
b. Berangkat dari minat dan pilihan anak tentang topic-topik yang ingin dipelajari. Dalam hal ini, guru memiliki semacam standar yang dijadikan rambu-rambu secara garis besar, namun dalam implementasinya memperhatikan dan merespon apa yang terjadi secara kontektual dikelas.
c. Memberikan kesempatan yang luas kepada anak untuk belajar dalam suasana bermain yang menyenangkan agar anak mendapatkan makna dari pengalaman sendiri.
d. Proses belajar mengajar bersifat integrative dan sedapat mungkin tidak mengikuti langkah-langkah pembelajaran yang kaku.
2. Cara Pembelajaran
Dalam pendekatan non akademik proses pembelajaran sangat menekankan melalui pengalaman langsung (hands on experience). Anak diberi kesempatan untuk memecahkan masalah-masalah yang ditemukannya, bukan masalah-masalah yang tidak terkait dengan konteks kehidupannya. Ia diberi kesempatan untuk bereksperimen, bereksplorasi, dan menemukan sesuatu dari pengalamannya melalui pengalaman-pengalaman semacam itu, anak membangun pemahaman dan menciptakan konsep-konsep sesuai dengan rentang perkembangan intelektualnya masing-masing.
Untuk menciptakan pengalaman belajar yang bermakna, minat dan prakasa anak sangat diperhatikan dalam pendekatan non akademik. Guru memiliki perencanaan pembelajaran, namun perencanaan tersebut dipersiapkan dengan mengakomodasi minat-minat dan pilihan anak. Bahkan hal-hal yang secara spontan terjadi dalam kegiatan anak diperhatikan dan sedapat mungkin diakomodasi dalam proses pembelajaran. Unsur inisiatif dalam kreatifitas anak benar-benar diperhatikan dan dihargai dalam pendekatan ini. Dan karena perhatiannya yang begitu besar terhadap unsur variasi individual anak, proses pembelajaran menjadi relative fleksibel.
Pengalaman-pengalaman interaksional anak dengan orang lain juga diperkaya dalam pendekatan ini. Guru membacakan cerita-cerita ke anak dan bercakap-cakap dengan mereka. Anak pun memiliki kesempatan untuk bercerita kepada teman dan gurunya serta menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan teman dan gurunya tentang cerita yang disampaikan. Mereka memiliki kesempatan yang luas untuk berdiskusi dan belajar bersama satu sama lain. Pengertian belajar bersama ini bukan sekedar anak sama-sama belajar pada tempat yang sama, tetapi mereka benar-benar mengalami sesuatu secara bekerja sama satu sama lain. Untuk mengimplementasikan cara-cara belajar di atas, proses pembelajaran melalui aktivitas bermain dan proyek atau tema-tema yang menarik bagi anak menjadi sangat dominan dalam pendekatan ini. Bermain merupakan sarana inti pembelajaran. Proses pembelajaran dilakukan melalui berbagai kegiatan yang secara interinstik menarik dan menggairahkan anak. Begitu pula, kegiatan-kegiatan proyek bukan sekedar dilakukan sebagai program pengayaan, tetapi justru dijadikan sebagai cara utama dalam mengorganisasikan kegiatan pembelajaran.
3. Peran Guru dan Anak
Dalam pendekatan non akademik, guru dan anak sama-sama berperan aktif. Sementara guru berperan sebagai fasilitator kegiatan belajar anak, anak berperan sebagai pembelajaran aktif. Mereka sama-sama aktif dalam perencanaan, proses, dan bahkan dalam evaluasi pembelajaran.
Sebagai fasilitator kegiatan belajar anak, guru mempersiapkan kegiatan pembelajaran. Dan dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran, guru mempelajari pengetahuan-pengetahuan teoritis atau konvensional yang sudah ada, namun juga mengakomodasi minat-minat dan pilihan-pilihan anak. Guru menstimulasi dan memotivasi anak untuk belajar, memberi kesempatan pada anak untuk mengembangkan berbagai kemampuan, membantu anak dikala kesulitan,serta menyiapkan lingkungan belajar yang kaya bagi anak. Guru juga mengevaluasi proses dan hasil belajar anak dengan melibatkan anak dalam proses evaluasi tersebut.
Dipihak lain, anak berperan sangat aktif dalam pembelajaran. Anak terlibat dalam proses perencanaan dan memiliki kesempatan yang luas untuk berprakarsa. Pada saat proses perencanaan, anak memiliki kesempatan untuk memuncukan ide-ide serta turut mendiskusikan tema- tema atau kegiatan-kegiatan proyek yang akan diprogramkan selama priode tertentu (misalnya, kuartal atau semester). Begitu pula dalam proses pembelajaran, murid memiliki kesempatan memprakasai, mencoba, mengeksplorasi, dan menemukan sesuatu. Anak berkesempatan untuk belajar individual, bersama teman, dan bersama guru atau orang dewasa lainnya.anak tidak secara ketat diarahkan untuk mempelajari meteri pengetahuan dan keterampilan yang sudah berstruktur, melaikan mendapatkan kesempatan untuk membangun pengetahuan dan pengalamannya melalui pengalaman-pengalaman langsung. Akhirnya dalam proses evaluasi pun, anak berkesempatan untuk terlibat dalam menganalisis dan menilai keberhasilan belajarnya sehingga tidak semata-mata menunggu atau mengandalkan penilaian dari guru.
4. Cara Evaluasi
Dalam pendekatan non akademik, penggunaan intrinsic reward lebih ditekankan dari pada ektrinsic reward. Jadi, bukan unsur penghargaan eksternal yang diutamakan untuk memotivasi murid, melainkan unsur penghargaan internal, yakni kepuasan anak akan keberhasilan belajar dan prestasinya. Dengan demikian, penilaian lebih terfokus kepada hal-hal positif yang diraih anak sehingga ia bangga dengan prestasinya dan menjadi senang untuk terus berkarya.
Penilaian tidak semata-mata dimaksudkan untuk menentukan taraf keberhasilan belajar anak, tetapi juga dipandang sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dalam pendekatan ini, penggunaan tes cenderung dihindari karena lebih terfokus ke penilaian yang bersifat autentik (authentic assesment). Maksudnya, penilaian diupayakan terjadi dalam situasi dan konteks yang lebih alami sehingga apa yang ditampilkan anak betul-betul menggambarkan kondisi yang sebenarnya (authentic). Dengan demikian, penggunaan observasi, catatan anekdot, dan portofolio merupakan teknik-teknik utama dalam penilaian. Penilaian juga tidak semata-mata didasarkan pada informasi yang dimiliki guru, tetapi juga didasarkan pada masukan-masukan dari orang tua dan sumber-sumber lainnya.
5. Keuntungan dan Kelemahan
Terdapat beberapa keuntungan dari pendekatan ini. Pertama, inisiatif anak untuk malakukan kegiatan belajar dapat berkembang dengan baik. Kedua, anak dapat secara aktif mengembangkan kreativitas dan membangun pengetaguan. Ketiga, proses pembelajaran dilakukan secara lebih alamiah (natural) dan menyenangkan sehingga dapat menumbuhkan motivasi dan sikap positifterhadap kegiatan belajar. Keempat, dalam jangka panjang pendekatan ini dipandang sangat mendukung perkembangan anak untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat (a life long learner).
Meskipun banyak keuntungannya, pendekatan ini masih dianggap memiliki beberapa kelemahan oleh sebagian orang. Hal yang sering dipandang sebagai kelemahan dari pendekatan ini dalam waktu singkat. Dengan kata lain, penggnaan waktu sering dianggap kurang efisien. Sebagian orang cenderung beranggapan bahwa penerapan pendekatan ini memerlukan perlengkapan yang lebih banyak sehingga memerlukan dana yang lebih pula. Dalam aspek pengembangan kurikulum, sebagian orang juga sering merasa kesulitan karena harus mengikuti kejadian dan perkembangan di kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar