CARA ANAK MEMPELAJARI
SAINS
A.
Siapakah
Anak Itu?
1.
Tinjauan
anak berdasar dimensi usia kronologis
Hurlock (1999) mengkategorikan, bahwa
masa kanak-kanak dini adalah usia prasekolah atau kelompok usia antara 2 hingga
6 tahun. Ki Hajar Dewantara memandang bahwa masa kanak-kanak berada pada
rentang usia 1 sampai 7 tahun. sedangkan Solehuddin (2000) membatasi secara
kronologis anak usia dini (early
childhood) adalah anak yang berkisar antara usia 0 sampai dengan 8 tahun.
Menurut Fawzia Aswin Hadis (1994), masa
kanak-kanak dengan rentang usia antara 3-6 tahun.
2.
Tinjauan
anak berdasar sudut pandang filosofis
Bertolak belakang dengan paham gereja pada sekitar pertengahan
abad 18 yang memberi pandangan tentang anak bahwa anak berpembawaan jahat dan
membawa dosa asal manusia, Pestalozzi
menyatakan bahwa anak berpembawaan baik, pandangan ini dipengaruhi oleh
pemikiran Plato yang memandang anak sebagai masa elastis dan ekspresi dari
kebaikan-kebaikan bawaan. Selanjutnya Frobel yang dipengaruhi oleh pendapat
Pestalozzi, berpendapat bahwa anak pada dasarnya berpembawaan baik dan
berpontensi kreatif. Menurut Montessori anak bukan sekedar fase kehidupan yang dilalui seseorang untuk
mencapai kedewasaan, lebih dari itu, anak merupakan kutup tersendiri dari dunia
kehidupan manusia. Kehidupan anak dan orang dewasa merupakan dua kutup yang
saling berpengaruhi satu sama lain. Menurut Ki Hajar Dewantara anak (manusia)
adalah titah Tuhan yang terdiri atas
unsur badan kasar (jasmani) dan badan halus (rohani). Anak lahir dengan kodrat/
pembawaan masing-masing. Kekuataan dalam kehidupan, bisa baik bisa juga
sebaliknya. Anak usia prasekolah adalah individu yang sedang menjalani suatu
proses pertumbuhan dan perkembangan yang pesat dan sangat fundamental bagi
proses perkembangan selanjutnya. (Solehuddin, 2000).
Menurut Erikson, anak adalah makhluk
yang aktif dan penjelajah yang adatif, selalu berupaya untuk mengontrol
lingkungannya. Masa kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia sebagai seorang
manusia, tempat dimana kebaikan dan sifat buruk kita yang tertentu dengan
lambat, namun jelas berkembang dan mewujudkan dirinya. Selanjutnya Jean Piaget mengemukakan bahwa anak adalah
seorang pengkonstruk yaitu seorang penjelajah yang aktif,selalu ingn tahu,
selalu menjawab tantangan lingkungan sesuai dengan interprestasi
(penafsirannya) tentang ciri-ciri esensial yang ditampilkan oleh lingkungan
tersebut. Anak dalam usia taman kanak-kanak adalah “petualang” yang kuat dan
tegar, yang senang menjelajah berbagai kemungkinan yang ada dilingkungannya
seraya mengembangkan seluruh aspek perkembangannya (Fawzia Aswin Hadis, 1999).
Beberapa hal yang dapat dijadikan
intisari dari berbagai pendapat tersebut diatas yaitu makhluk atau individu
yang memiliki potensi-potensi yang baik, dimana dengan potensi yang dimilikinya
itu anak berkembang melalui kegiatan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
3.
Tinjuan
anak berdasar karakteristik perkembangannya.
Para ahli mengklasifikasikan atau
membedakan aspekk-aspek perkembangannya tersebut kedalam penggolongan aspek-aspek
perkembangannya. Secara garis besar, penggolongan tersebut antara lain
dikemukanakan oleh Hurlock (1999), bahwa karakteristik perkembangan terdiri
dari:
1) perkembangan
fisik, dengan lingkungannnya meliputi ukuran dan proporsi tubuh, pertumbuhan
dan perkembangan tulang, otot dan lemak, gigi dan perkembangan susunan syaraf.
2) Perkembangan
motorik, yang meliputi perkembangan motorik halus dan motorik kasar.
3) Perkembangan
bicara, yaitu tentang bagaimana cara anak belajar berbicara.
4) Perkembangan
emosi, yang meliputi pola emosi yang umum muncul pada diri anak yaitu: takut, canggung, marah,
cemas. Khwatir, cemburu, dukacita, keingintahuan, kegembiraan, keriangan,
kesenangan dan kasih sayang.
5) Perkembangan
sosial, yaitu tentang penyesuaian sosial anak.
6) Perkembangan
bermain, yang meliputi bermainaktif, bermain bebas dan sopan, bermain drama,
bermain konstruktif, bermain mengumpulkan, bermain mengeksplorasi, permainan
dan olag raga, bermain pasif, membaca, menonton televisi, mendengarkan musik.
7) Perkembangan
kreativitas, yaitu mengenai perbedaan perkembangan kreatifitas pada anak dan
ekspresi kreatifitas anak.
8) Perkembangan
pengertian, merupakan mengenai perkembangan pengertian dan konsep pada anak.
9) Perkembangan
moral, yang meliputi perkembangan perilaku moral dan displin.
10) Perkembangan
peran seks, yaitu mengenai penentuan peran seks pada anak.
11) Perkembangan
kepribadian, yaitu mengenai penentuan kepribadian yang paling penting mencakup
pengalaman awal, pengaruh budaya, bentuk tubuh, kondisi fisik, daya tarik
fisik, intelegensi, emosi, nama keberhasilan dan kegagalan, penerimaan sosial,
lambang status, pengaruh sekolah dan keluarga.
B.
Hakekat
Belajar
1.
Konsep
belajar
Secara tradisonal belajar diartikan
sebagai penambahan dan pengumpulan pengetahuan, jadi tekanannya pada intelektual.
Tetapi pendapat modern belajar didefinisikan sebagai perubahan kelakuan
(Nasution, 1986). Pengetian modern lebih menekankan pengertian belajar sebagai
suatu proses dimana suatu organisma (individu) berubah perilakunya akibat suatu
pengalaman (Witherington, 1959; Sartain, 1973; Somadi, 1984; Syah, 1995), dan
pengertian berbasis pandangan modern, yang kemudian banyak digunakan dan
dijadikan rujukan dalam praktek-praktek pendidikan.
Sesuai dengan batasan atau pengertian
belajar di atas, dimensi-dimensi perubahan yang terjadi, diantaranya:
1) Kepribadian.
2) Perilaku
aktual maupun potensial.
3) Kecakapan/ketrampilan
dalam bertindak.
4) Sikap
dan kebiasaan.
5) Pengetahuan
dan pemahaman.
2.
Bentuk-bentuk
belajar
Banyak
ahli yang mengkaji tentang bentuk-bentuk belajar, tetapi secara umum, terdapat
enam bentuk perbuatan belajar. Keenam bentuk tersebut adalah mendengarkan, memandang, membau/mencium, meraba/mencicipi, menghafal, membaca (syamsudin,
1987).
Keenam
bentuk dasar belajar tersebut dijelaskan pada uraian dibawah ini:
1) Mendengarkan:
yaitu bentuk belajar atau perubahan perilaku yang didasarkan atas tindakan
mendengarkan. Terdapat dua perubahan mendasar dalam kegiatan belajar
mendengarkan ini, pertama adalah subyek belajar betul-betul memperbaiki
kemampuan dan kepekaan cara-cara mendengarkan atau menyimak informasi dan
segala rangsangan yang masuk melalui pendengarannya, dapat berupa fakta, konsep
maupun teori.
2) Memandang/melihat:
sama halnya dengan uraian di atas, bentuk belajar memandang memiliki dimensi
yang terbuka, pertama arah belajar lebih ditekankan pada fungsi indera sebagai
alat untuk memperoleh pengalaman belajar melalui jalur visual, tetapi secara
khusus dapat dijelaskan bahwa belajar memandang merupakan bagian dari
memperbaiki perilaku dalam memanfaatkan mata sebagai alat penerima pengalaman
belajar melaui visual.
3) Membau/mencium:
bentuk belajar dan perolehan pengalaman belajar melalui mebaui atau mencium.
Belajar dengan cara ini amat khas, tetapi jika kurang memperhatikan rambu atau
kriteria obyek atau isi yang dipelajari akan berakibat fatal, misalnya
keracunan atau lain-lain.
4) Meraba/mencicipi:
bentuk belajar ini sangat esensial terutama bagi anak usia dini dalam menggali
sains. Dengan meraba anak akan memperoleh pengalaman langsung dan sangat
bermakna. Bahkan jenis belajar ini akan sangat efektif dalam memperbaiki dan
menarik perhatiannya.
5) Menghapal:
adalah bentuk belajar yang sangat populer, saat ini maupun pada masa silam.
Belajar menghapal sangat dibutuhkan, mengingat begitu banyaknya informasi,
konsep, teori dan faktayang berada di sekitar anak.
6) Membaca
: tak kalah populernya adalah belajar melalui membaca, yaitu dengan menyerap
informasi melalui bacaan yang berisi
informasi-informasi pengetahuan yang telah dikemas dan disajikan secara
sistematis dalam bentuk tulisan. Jadi pembelajar tinggal membacanya secara
saksama dan rutin.
Dengan
mengetahui keragaman bentuk belajar yang terjadi dan dapat dilakukan oleh anak,
maka tugas terpenting dari kita sebagai guru sains adalah mencari berbagai cara
dan upaya agar setiap bentuk belajar yang dikuasi, dipilih dan dilakukan anak
dapat terjadi secara efektif dan optimal. Beberapa hal yang harus diperhatikan
guru sains agar setiap bentuk belajar yang dilakukan dan dijalankan oleh anak
dapat produktif adalah:
a. Sediakanlah
berbagai rangsangan sains yang sesuai denga setiap bentuk belajar yang sedang
dijalankan anak.
b. Sediakanlah
sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang dapat menggali potensi berpikir dan
mengembangkan ketrampilan intelektual anak pada saat anak sedang beraktivitas
sains.
c. Atas
kegiatan dan bentuk belajar yang dapat dilakukan anak secara baik, berikanlah
pengutaan dan sebaliknyaatas kelemahan, kemunduran dan kekurangan anak dalam
mengoptimalkan bentuk belajar yang dipilihnya berilah motivasi.
d. Jadilah
guru sebagai model yang tidak putus asa, penuh semangat dan antusias dihadapan
anak pada saat pembelajaran sains, sehingga sosok guru menjadi figur yang
menjadi inspirasi bagi anak dn menjadi contoh dalam melakukan kegiatan atau
ekplorasi sains.
e. Selalulah
guru berpikir, mencari dan menemukan segala sesuatu yang menarik anak dan dapat
dijadikan sarana dalam mengembangkan segala potensi dan bentuk belajar anak.
3.
Prinsip-prinsip
belajar
Dengan mengacu pada prinsip-prinsip
belajar yang dikemukakan oleh Witherington, 1996 maupun Ausuble, 1989 terdapat
beberapa azas yang semestinya diperhatikan oleh para guru dalam kegiatan
belajar sehinggan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kegiatan-kegiatan
dalam program pengembangan sains berjalan sesuai yang semestinya. Di antara hal-hal
prinsip dalam belajar yang harus dipegang teguh menurut kedua ahli tersebut
adalah:
1) Belajar
akan berhasil apabila anak melihat tujuan dan tujuan itu lahir dari dan dekat
denga kehidupan anak.
2) Kegiatan
belajar hendaklah dapat merangsang seluruh aspek perkembangan anak, baik
jasmani, rohani maupun emosional.
3) Lingkungan
belajar yang diciptakan hendaklah bermakna dan mengandung arti bagi anak
sehingga membentuk pola kelakuan (behavior patern) yang berguna bagi kehidupan
anak.
4) Bantuan
belajar yang diberikan adalah yang menunjang efektifitas dan efisiensi belajar
anak dan dilakukan secara wajar.
5) Adanya
upaya pengintegrasian pengalaman belajar sebelumnya dengan pengalaman baru
sehingga menjadi suatu kesatuan pengalaman yang utuh, tidak mudah lepas atau
hilang.
6) Penyajian
belajar hendaklah suatu keseluruhan harus lebih dulu dimunculkan kemudian baru
menuju sesuatu yang lebih spesifik. Prinsip ini sangat beralasan, karena secara
umum penampilan objek sains secara totalitas, terutama saat permulaan
(menampilkan awal) di hadapan anak akan memiliki tingkat kebermaknaan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan yang spesifik terlebih dahulu.
7) Belajar
selalu dimulai dengan sesuatu masalah dan berlangsung sebagai usaha untuk
memecahkan masalah itu.
8) Belajar
itu berhasil bila disadari telah ditemukan
clue (kunci) atau hubungan diantara unsur-unsur dalam masalah itu,
sehingga dieroleh insight atau
wawasan dan pemahaman.
9) Belajar
berlangsung dari yang sederhana meningkat kepada yang kompleks, bergerak dari
yang dekat dengan anak hingga yang jauh, serta dari konkrit menuju abstrak.
C.
Pandangan
psikologi Tentang Cara belajar Anak
1.
Pandangan
kaum kognitivis tentang belajar anak
Pemahaman kaum kognitifis tntang tingkah
laku manusia, bahwa menurut mereka perilaku manusia tak dapat diukur dan
terangkan tanpa melibatkan proses – proses mental (nana sudjana, 1987); seperti
motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya. Dalam pandangan dan perspektif
psikologi kognitif, belajar pada asasnya dalah peristiwa mental, bukan
peristiwa behavorial (yang bersifat jasmaniah), meskipun hal – hal yang
bersifat behavorial tampa lebih nyata dalam peristiwa elajar siswa (hurlock),
1978).
Jerome brunner. Brunner menganggap
bahwa manusia sebagai pengolah informasi, permikir dan pencipta. Dari hasil
penelitiannya, ia menyatakan bahwa individu bukan seperti mesin ( mekanistis),
yakni mengasosiasikan respon khusus dengan stimulasi khusus. Individu cenderung
melakukan peran untuk menstransformasikan belajarnya kepada berbagai persoalan.
Bagi individu dan bukan pula aktif, tetapi menjadi fungsional (Elkin, 1981).
Dua hal yang penting terkait dengan sains yakni:
a. Sains
atau pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses aktif; dan
b. Manusia
aktif membangun pengetahuannya melalui hubungan informasi yang diperoleh ke
dalam frame psikologisnya.
Secara
lebih luas arti penting bagi pengembangan program sains pada anak usia dini
adalah hendaklah program dikemas dengan pilihan –pilihan kegiatan yang dapat
mengaktifkan anak dalam menggalinya.
Selanjutnyan
brunner menggemukakan, bahwa terdapat lima tujuan pendidikan. Yang limanya
dapat dijadikan juga sebagai tolak ukur arah pengembangan program sains yang
dibuat oleh para guru. Lima tujuan tersebut yakni:
1) Membawa
siswa untuk menemukan nilai dan kemampuan dalam menduga permasalahan,
pendekatan terhadap masalah serta merealialisasikan aktivitas pemecahannya.
2) Mengembangkan
kepercayaan diri siswa akan kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan
pikirannya sendiri.
3) Membantu
siswa agar memiliki dorongan diri untuk menggunakan kemampuannya dalam
menghadapi berbagai mata pelajaran.
4) Mengembangkan
cara berfikir ekonomis melalui pengembangan belajar yang mendorong mencari relevansi
dan struktur dari apa yang dipelajarinya.
5) Mengembangkan
kejujuran intelektual yakni kesadaran menggunakan peralatan dan bahan –bahan
dari pengetahuan untuk menilai dan menguji suatu pemecahan masalah, gagasan dan
dugaan – dugaannya.
Kesimpulan
dan implikasi dari teori (pandangan) brunner terhadap program sains adalah
bahwa tujuan pendidikan sains hendaklah di arahkan untuk melatih siswa dalam
menggunakan fikirannya, kekuatannya, kejujurannya, serta teknik – teknik yang
dimilikinya dengan penuh kepercayaan diri. Untuk itu tugas guru sains adalah
mengembangkan program bagaimana siswa dapat mengekplorasi dan berinteraksi
sains dan rekanya secara optimal.
Garne
mengusulkan bahwa perlu melakukan analisis yang seksama mengenai setiap situasi
latihan dan pendidikan untuk menentukan tugas – tugas macam apa yang harus
dilibatkan, baik dalam tujuan akhir maupun dalam tujuan tambahan.
Gagne
juga berpendapat bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sangat
ditentukan oleh keturunan, sedangkan faktor – faktor yang mempengaruhi belajar
ditentukan oleh kejadian pada lingkuangan individu. Penjelasaan terakhir dari
gagne tersebut memberikan inspirasi bahwa semua yang diperkenalkan pada anak,
termasuk bidang sains; hendaklah sangat mempertimbangkan potensi awal (basic
skills) anak, tetapi aspek lingkungan juga harus dipertimbangkan; sehingga
terjadi keseimbangan dalam mempertimbangkan kondisi anak sebelum memasuki
program belajar. Intinya potensi awal dan lingkungan merupakan titik mula
(starting point) suatu pembelajaran sains bagi guru.
Pandangan
lain yang dapat dikemukakan adalah pandangan dari jean piaget. Praktik
pendidikan dan pengajaran anak usia dini selama beberapa dasarwarsa belakangan
ini sangat dipengaruhi oleh teori perkembangan yang diajukan oleh piaget yang
pada dasarnya mengkatagorikan empat tahapan perkembangan kognitif dan efektif secara semesta dilalui
manusia. Menurut pandangan teori ini, anak – anak berkembang kognitif melalui
keterlibatan aktif dengan lingkungannya, dan setiap tahapan perkembangan saling
terjalin dan intergrasi satu sama lain. (mustaffa, 2002). Oleh karena itu
setiap tahapan perkembangan yang diajukan oleh piaget harus diperhatikan secara
seksama karena pengaruhnya amat besar dalam perkembangan pendidikan anak usia
dini. Tahapan – tahapan perkembangan yang dimasudkan oleh piaget ditampilkan
sebagai berikut:
1. Tahap usia sensor-motor (usia 0-2 tahun).
2. Tahap
berfikir pra- operasional (usia 2-7 tahun).
3. Tahap
operasi konkrit (7-11 tahun).
4. Tahap
operasi formal (11- 15 atau tahun).
Menurut Ausuble, 1969 (ibrahim,1996)
ia mengemukakan bahwa terdapat empat bentuk belajar , yaitu: belajar menerima
dengan lawannya belajar discovery, dan belajar menghapal dengan lawannya
belajar bermakna. Pokok dari pandangan tersebut diuraikan sebagaimana dibawah
ini:
1.
Belajar menerima lawannya belajar discovery
2. Belajar menghapal
lawannya belajar bermakna.
Vygotski
menekankan pentingnya konteks sosial untuk proses belajar anak. Pengalaman
interaksi sosial ini sangat berperan.
Dalam mengembangkan kemampuan berfikir anak. Lebih lanjut bahkan ia menjelaskan
bahwa bentuk – bentuk aktifitas mental yang tinggi diperoleh dari konteks
sosial dan budaya tempat anak berinteraksi dengan teman –temannya atau orang
lain. Mengingat betapa pentingnya peran konteks sosial ini, ia berpendapat
bahwa untuk memahami perkembangan individu anak; kita dituntut untuk memahami
relasi – relasi sosial yang terjadi pada lingkungan tempat si anak bergaul
(berk & wisler, 1995; solehuddin,1997).
2. Pandangan Kaum
Behaviorist Tentang Belajar Anak
Menurut
skinner belajar adalah perubahan dalam perilaku yang dapat diamati dalam
kondisi yang dikontrol secara baik. Skinner mengakui bahwa implikasi praktisnya
dalam dunia pendidikan cukup nampak. Ia mengatakan bahwa kontrol yang positif
(menyenangkan) mengandung sikap yang menguntungkan terhadap praktek pendidikan,
dan akan lebih efektif bila digunakan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa peranan
utama dari pendidik adalah menciptakan kondisi agar hanya tingkah laku yang
diinginkan yang diberikan penguatan. Menurutnya mengajar adalah mengatur
kesatuan penguat untuk mempercepat proses belajar. Dengan kata lain guru harus
menjadi arsitek dalam membentuk perilaku siswa. Terhadap beberapa prinsip
pengajaran yang dapat degunakan berdasarkan aliran ini (Nana sudjana, 1991)
diantaranya:
1) Perlu
adanya tujuan yang jelas dalam pengertian tingkah laku apa yang diharapkan
dicapai oleh para siswa. Tujuan diatur sedemikian rupa secara bertahap dari
sederhana menuju yang kompleks.
2) Memberi
tekanan pada kemajuan individu sesuai dengan kesanggupannya.
3) Pentingnya
penilaian yang terus menerus untuk menetapkan tingkat kemajuan yang dicapainya.
4) Prosedur
pengajaran dilakukan melalui modifikasi atas dasar hasil evaluasi dan kemajuan
yang dicapainya.
5) Hendaknya
digunakan positif reinforcement (penguatan positif) secara sistematis
bervariasi dan segera manakala respon siswa telah terjadi.
6) Prinsip
belajar tuntas sebaiknya digunakan agar penguasan belajar para siswa dapat
diperoleh sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan (tujuan yang ingin dicapai
dari pengajaran).
7) Program
remedial bagi para siswa yang memerlukan harus diberikan agar mencapai prinsip
belajar tuntas.
8) Peranan
guru lebih diarahkan kepada peranannya sebagai arsitek dan pembentuk tingkah
laku.
D.
Anak,
Belajar, dan Sains
Sebagai bagian dari mekanisme
belajarnya, anak – anak perlu mengembangkan sendiri berbagai hipotesis dan
secara terus menerus membuktikannya melalui interaksi sosial, mengontak – atik
barang dan proses berfikirnya sendiri mengamati apa yang terjadi, memikirkan
yang ditemukannya, mengajukan pertanyaan dan merumuskan jawaban.
Demikian,
anak- anak dengan aktif secara terus – menerus mengoalh berbagai pengalamannya
dengan cara membongkar pasang, mengembangkan dan mereorganisasian struktur mentalnya
melalui berbagai proses yang dilakukannya (piaget 1952, vigoski 1978; mustaffa,
2002).
Dengan
demikian fungsi dari pengajaran sains yang dapat menumbuhkan berfikir logis,
berfikir rasional, berfikir analitis dan berfikir kritis dapat berkontribusi
secara signifikan dalam pembentukan potensi – potensi anak (juarih adang,
1995).
Apapun
pendekatan dan strateginya para ahli menyarankan, jika potensi – potensi anak
diharapkan dapat berkembang secara optimal; hendaklah tindakan – tindakan serta
kegiatan – kegiatan yang dipilih serta dan dijadikan sebagai medium berupa
aktivitas belajar dengan kemasan bermain. Pokoknya pilihlah cara yang dapat
memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang- ulang, menemukan
sendiri, berekplorasi, mempraktekkann dan mendapatkan bermacam – macam konsep
serta pengertian yang tidak terkira banyaknya. Kegiatan yang ditawarkan lebih
banyak memberiakan peluang anak untuk melakukan percobaan dengan objek – objek
nyata, dan dengan melalui pengalaman – pengalaman konkrit dari pada dengan cara
“diajari” oleh guru.
Akhirnya
tiba pada suatu kesimpulan, untuk menjawab menggapa anak – anak dapat dan
penting dalam penguasaan, pengembangan sains, adalah sebagai berikut:
1) Setiap
anak memiliki bakat dan potensi yang menakjubkan.
2) Anak
adalah makhluk individu, maksudnya adalah anak merupakan individu yang memiliki
karakteristik dan kesiapan untuk dikembangkan pada fokus tertentu dan menarik
baginya.
3) Anak
adalah pelajar. Cara – cara memfasilitasi anak yang tepat, dapat membangun pengalaman
belajar yang bermakna bagi setiap anak.
4) Anak
adalah pelaku dan peranan, implikasi dari pemahaman atas pernyataan tersebut
terhadap pengembangan sains adalah pembelajaran dianggap tepat apabila anak
juga dilibatkan dalam kegiatan perencanaan pengembangan sains.
5) Anak
adalah peka dan pengindraan. Pengalaman pada anak adalah berhubungan dengan apa
yang mereka rasakan, dengar, sentuh atau raba, rasa atau cicipin dan cium,
tetapi juga kepekaan – kepekaan yang dirasakan tubuhnya.
6) Anak
adalah pemikir. Setiap peralatan otak anak dilengkapi kemampuan berfikir dan
dalam otak setiap anak terdapat ‘mode’ awal scientifik’ (prota – scientific),
yakni kemampuan dan kepekaan cara –cara mengorganisasian pengetahuan yang ia
ketahui tentang dunianya (Holt, 1994).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar